Saya, dan Sampeyan semua, mungkin terlalu sering mendengar Gus Baha menyebut nama bapaknya, Mbahnya, Mbahnya Mbah, dan seterusnya. Ini memaksa saya ingat bapak, almarhum Sahal Irsyad, yang jarang saya sebut, di muka teman-teman, apalagi di panggung-panggung terhormat (pasti saja, saya belum pernah naik panggung terhormat semacam acara haul Kiai Ali Maksum atau haul Gus Dur, kecuali membenahi mik atau menyuguhkan minuman. Haul dan sejenisnya itu haknya orang alim dan saleh).

Saya termasuk orang yang tidak terlalu suka mendengar seseorang sering menyebut kealiman atau amal jariah bapaknya, apalagi di depan umum, dilakukan berulang-ulang pula. Suka geleng-geleng kepala saya karena itu. Tentu saja saya orang primpen menyimpan kisah-kisah orang tua saya, bahkan saya tidak banyak cerita pada mertua, juga istri sendiri.

Dalam kasus berbeda, saya pernah ekstrim: sinis sama orang tua yang membubuhi nama dirinya ke anak-anaknya. Bebas saja sih, wong anak-anaknya sendiri, nama-namanya. Tapi, sekali lagi itu ekstrim. Alasanku: kayak hebat saja namanya ditempelin ke nama anaknya. “Besok kalau anaknya bangga, kan pasti akan ditambahi sendiri oleh anaknya,” begitu sinisme saya.

Belakangan saja, beberapa kali saya cerita ke Naafi dan Nawa, itu pun karena mereka tanya-tanya. Anak saya mengenal dengan baik orang tua dari ibunya. Sementara mereka tidak mengenal orang tua ayahnya, kecuali tiap tahun ziarah ke kuburannya yang hanya ditandai kayu sederhana itu. Foto orang tua saja yang jelas wajahnya tidak pernah dilihat. Mungkin Nawa dan Naaf bertanya-tanya: aneh sekali orang kok tidak ada fotonya?

ليس الفتى من يقول كان أبي ولكن الفتى من يقول ها أناذا

Pepatah itulah yang merasukiku hingga jarang bercerita ihwal orang tua. Karena itu pula, beberapa kawan mungkin sering melihat sifat tidak terpuji saya: sering menepuk dada sendiri.

Setelah sering mendengar Gus Baha menyebut bapaknya, bapaknya bapak, bapaknya bapaknya bapak, saya punya alasan lebih untuk semakin primpen menyimpan nama bapak saya.

Namun di sisi lain, lambat laun, saya menemukan sendiri “dalil” kenapa Gus Baha sering menyebut nama leluhurnya itu. Apa “dalilnya”?

Saya berkata untuk diri sendiri: Gus Baha, Gus Ghofur (dan lain-lain), layak sering bercerita Kiai Nursalim, Mbah Maemoen, karena PANTES. Dua “gus” kita ini alim, saleh, rajin silaturahim, disiplin, mutalaah terus-menerus, dermawan ilmu, dan memiliki tanda-tanda kewalian, yakni suka humor..hahaha.. Jika Kiai Nursalim atau Mbah Moen di alam sana mendengar namanya disebut-sebut oleh anak-anaknya itu wangun, pantas, layak.

“Hehe.. Fur, Ghofur, kowe entuk menyebut-nyebut namaku asal kowe istikamah,” mungkin begitu Mbah Moen berkata.

Kiai Nursalim mungkin juga akan berujar senada dengan Mbah Moen, “Ha, Baha, sebutlah namaku di pengajian-pengajianmu, sesering yang kamu suka, kecuali kowe wis ra tau mutholaah opo males ngajar.”

Mafhum mukhalafahnya, jika ada orang bapaknya alim, saleh, dedikatif, disiplin, merakyat, namun anaknya punya sifat sebaliknya, maka…..maka…silakan hukumi sendiri…

Walhasil, sekarang saya tidak musykil lagi Gus Baha sering menyebut leluhurnya yang memang mulia itu. Sebab, saya yakin, Gus Baha, Gus Ghofur, juga mulia, menapaki jejak para orang tuanya. Bagaimana dengan saya?

Saya? Saya tidak akan meniru “gus-gusque”. Jika suatu hari nanti, Sampeyan semua sering mendengarkan saya menyebut nama orang tua, nasab, berarti saya nambah alim dan saleh, kayak Gus Baha…wkwkwkwkw..