Sabtu, 25 April 2020

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA - SYARAH SAFINATUN NAJA




TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA
 - SYARAH SAFINATUN NAJA | Pustaka Mampir
Karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantanie

Penerjemah : Zainal Arifin Yahya
Ukuran : 24 cm x 17 cm
Halaman : 747 halaman + 100 lampiran
Cover : Hard Cover
Kertas isi : Book Paper
Berat : 1350 gram
============================================
Daftar Isi :

Penjelasan Tiang-Tiang Penyangga Agama Islam
- Menerangkan Semua Perkara Yang Wajib Kepadanya Untuk Beriman
- Mengenai Kunci Surga, Yaitu Kalimat Tauhid, dan Mengenai Kalimat - Ikhlas dan Kalimat Keselamatan
- Mengenai Penjelasan Baligh-Nya Anak
- Penjelasan Ber-Istinja Dengan Batu
- Mengenai Wudhu
- Mengenai Penjelasan Hukum-Hukum Niat
- Mengenai Air Yang Tidak Dapat Menolak Najis dan Air Yang Tidak Dapat - Menolak Najis dan Air Yang Dapat Menolak Najis
- Mengenai Perkara-Perkara Yang Mewajibkan Mandi
- Mengenai Mandi
- Mengenai Syarat-Syarat Bersuci
- Mengenai Penjelasan Tasydid Dalam Suroh Al-Fatihah dan Tempat Tasydid Tersebut
- Menjelaskan Memandikan Jenazah
- Mengena Kain Kafan
- Mengenai Men-Sholati Atas Jenazah
- Mengenai Perkara Yang Mewajibkan Penggalian Jenazah (Yang Telah Dikuburkan)
- Mengenai Perkara Zakat

Dan Masih Banyak Lagi

Untuk pemesanan silahkan chat ke https://wa.me/6281325276424

Kamis, 16 April 2020

GUS BAHA': PERLUNYA ILMU MANTIK DALAM MENGENAL ALLAH

GUS BAHA': PERLUNYA ILMU MANTIK DALAM MENGENAL ALLAH

Keinginan setan adalah agar manusia senantiasa tidak berpikir dengan selalu hidup bersenang-senang. Dengan menjalani kehidupan yang penuh kesenangan seketika akan membawa manusia untuk malas mencari tahu tentang siapa Tuhannya.

Inilah yang menjadi sebab utama munculnya paham nihilism, atheism yang sepertinya sangat kritis dan selalu mengedepankan logika dalam pola pikirnya kendatipun tak pernah menemukan bukti tentang keberadaan Tuhan.

Tujuan utama mengaji adalah mengenalkan seseorang terhadap Allah (Tuhan) dengan akal sehat. Kekeliruan yang kerap dilakukan para ulama adalah memulai dengan mengenalkan sebutan Allah tanpa memberi pemahaman logis tentang esensi Tuhan yang dapat diterima oleh mereka.

KH. Bahauddin Nur Salim atau yang seringkali hanya dikenal dengan sebutan Gus Baha’ dalam suatu pengajian mengatakan bahwa, “Dalam ilmu mantik yang diajarkan di pondok-pondok pesantren tidak pernah menyebutkan Allah, yang disebutkan adalah bahwa alam ini makhluk (ciptaan), dan setiap makhluk memerlukan Kholik (pencipta) untuk dapat menjadi ada. Alam ini adalah sebuah akibat, dan sebagai akibat akan selalu butuh sebab.”

Lalu Gus Baha’ menjelaskan bahwa ‘Sebab’ ini kita sebut musabibul asbab. Artinya sebuah ‘Sebab’ harus ada sebelum yang disebabi atau ‘Akibat’ itu sendiri ada.

“Wujud yang sekarang kita kenal ini membutuhkan penyebab atau yang kita kenal sebagai Wajibil Wujud atau wujud superior. Semua itu oleh Islam disebut dengan nama Allah”, papar kiai penekun tasawuf ini lebih lanjut.

Baca juga: Menyikapi Kasus Penistaan Agama
Akal manusia hanya sampai pada rumusan bahwa alam ini butuh penyebab, yang oleh Einsten dan pemikir-pemikir modern dikenal dengan ‘Causa Prima’.

Maka menurut santri kesayangan Mbah Moen Sarang ini ilmu mantik ala pesantren sangat penting agar kita tidak sering keliru dalam merekonstruksi bangunan tauhid dalam logika yang menjadi landasan penting dalam mengenal Allah melalui sifat-sifatnya. (Sumber: Alif.id)

Yang membutuhkan buku ini bisa langsung chat ke https://wa.me/6281325276424

Minggu, 22 Maret 2020

DI BALIK KAMUS AL-MUNAWWIR YANG LARIS DAN LEGENDARIS, ADA 5 KISAH KETELADANAN


DI BALIK KAMUS AL-MUNAWWIR YANG LARIS DAN LEGENDARIS, ADA 5 KISAH KETELADANAN

Hampir seluruh santri Indonesia kenal Kamus Al-Munawwir. Kamus setebal 1591 halaman utama tersebut menjadi rujukan penting dalam mempelajari bahasa Arab, utamanya terkait dengan kitab kuning.

Sejak diterbitkan pertama kali tahun 1997 oleh Pustaka Progresif, Surabaya, kamus ini telah cetak ulang hingga 22 kali. Pertahunnya menembus angka penjualan hingga 20.000 eksemplar sebagaimana dilansir nu.or.id.

Kamus Al-Munawwir merupakan karya legendaris K.H. Ahmad Warson Munawwir (wafat 8 Jumadil Akhir 1434 H/18 April 2013), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Beliau merupakan pengasuh pesantren Al-Munawwir setelah wafatnya K.H. Ali Maksum yang merupakan kakak ipar sekaligus gurunya. Karena berulangkali naik cetak dan terjual puluhan ribu eksemplar, Kamus Al-Munawwir tergolong buku best seller.

Di balik kesuksesan dan ketenaran kamus ini, apa saja kelebihan dan rahasianya? Berikut 5 fakta tentang kamus Al-Munawwir.

1. Penulisan Butuh Waktu 15 Tahun

Penulisan Kamus Al-Munawwir telah dilakukan semenjak Mbah Kiai Ali Maksum masih hidup, sekitar tahun 1960. Beliau mendampingi K.H. Ahmad Warson menyelesaikan kamus ini. Mengutip dari website resmi pesantren, munawwir.com, Kamus Al-Munawwir dicetak pertama kali pada 1976 masih dengan tulisan tangan dan baru sampai huruf dzal. Hal itu diungkapkan oleh alumni yang membantu penerbitan Kamus Al-Munawwir bernama K.H. Habib Syakur.

2. Tashih Model Setoran

Dalam Kamus Al-Munawwir tertulis bahwa pentashih kamus tersebut adalah K.H. Ali Maksum (Mbah Ali). Hal itu karena memang beliaulah yang membimbing dan mendampingi penulisan kamus.

Proses tashih kamus kepada Mbah Ali dilakukan dengan metode setoran. Setiap kali K/H. Ahmad Warson menyelesaikan beberapa halaman, ia lalu membawa naskah itu kepada Mbah Ali untuk dikoreksi. Mbah Ali kemudian memeriksanya sambil minta dipijit. Begitu yang selalu dilakukan hingga tuntasnya penulisan kamus.

3. Sistematis dan Cocok untuk Mempelajari Kitab Kuning

Penulisan Kamus Al-Munawwir didasarkan pada sistem tashrif atau perubahan kata bahasa Arab. Dimulai dengan kata kerja paling dasar dalam tiga huruf, istilah sharf-nya fiil tsulasi mujarrad. Diurut mengikuti abjad. Satu kata kemudian dikembangkan menurut peralihan arti dengan mengikuti urutan abjad arab.

Jadi, untuk nyaman menggunakan kamus ini, perlu memiliki dasar-dasar ilmu sharf. Bagi santri, kamus ini mengasah kembali kemampuan untuk mencari asal kata yang ingin dicari maknanya. Contoh mudahnya, untuk mendapatkan makna kata اَلشُّؤْمُ, harus mencari di bagian abjad syin, lalu mengerti bahwa kata tersebut huruf dasarnya adalah syin, hamzah, dan mim.

Sehingga langsung menuju huruf syin bagian hamzah dan mencari kata شَأَمَ yang merupakan kata kerja dasarnya. Barulah meruntut ke bawah hingga ketemu kata tersebut yang maknanya adalah kesialan, kemalangan.

4. Ada Versi Indonesia-Arabnya Juga

Kamus Al-Munawwir sukses menarik minat para pelajar dan santri pesantren. Melihat itu penulis kemudian melengkapinya dengan menulis Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab. Kali ini yang menjadi pentashih adalah kakak K.H. Ahmad Warson, K.H. Zainal Abidin Munawwir. Seperti pendahulunya, penyusunan kata dalam kamus ini menggunakan sostem kata dasar.

Meskipun sama-sama bernama Al-Munawwir, kamus versi Indonesia-Arab ini nampaknya kalah tenar dari versi Arab-Indonesia yang lebih dulu memasyarakat di kalangan pesantren.

5. Rahasia Larisnya Kamus Al-Munawwir

Apa rahasia di balik larisnya Kamus Al-Munawwir ini? Rahasia ini diungkapkan oleh sahabat karib K.H. Ahmad Warson, H. Iskandar. Ia pernah bertamu dan diberitahu oleh Nyai Khusnul, istri K.H. A. Warson, bahwa penjualan kamus laris ketika direncanakan uang hasil penjualan akan digunakan untuk bangunan pondok. Tapi kalau ada rencana ingin menggunakan untuk kepentingan pribadi, penjualan kamus langsung seret.

“Tak rasan-rasan, nek niat neng ati arep tuku ngene, tuku ngono nganggo duwit dodolan kamus, kamuse ndadak ora laku. Tapi nek diniati duwite digawe bangun pondok, kok kamuse laris banget.”

(Rasa-rasanya, kalau di hati ada niat mau beli ini beli itu dengan menggunakan uang hasil penjualan kamus, kamusnya tiba-tiba tidak laku. Tetapi kalau niatnya uang hasil penjualan kamus dibuat bangun pondok, itu kamusnya kok laris sekali),” ujar H. Iskandar menirukan ucapan Nyai Khusnul, sebagaimana dilansir nu.or.id.

Nasrudin/Datdut

Bagi yang berminat untuk mendapatkan kamus tersebut, silahkan langsung chat ke https://wa.me/6281325276424

TERJEMAHAN FATHUR RABBANI

Pengen koleksi Terjemahan kitab Fathur Rabbani?

Terjemah Kitab Fathur Rabbani

Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Penerbit: Turos
Ukuran: 15 x 23 cm cm
Cover : Hard Cover
Kertas : Book paper
Halaman: 684
Berat : 1250 gram

Agar hati seorang salik terbuka dan mampu menerima cahaya ALLAH, wajib baginya mengerti cara membukanya. 

Kitab ini merupakan kunci untuk membuka hati yang terbelenggu oleh gemerlap dunia yang fana, supaya terbuka lebar sehingga mampu menerima cahaya kebenaran ALLAH SWT.

Kitab ini ditulis semata-mata untuk mencari keridhaan ALLAH, sebagai upaya meluaskan sanubari kaum muslimin. 

Sesuai dengan keinginan pengarangnya, kitab ini diharap mampu memberi embun penyejuk bagi setiap jiwa, menyucikan hati dan perilaku manusia, serta menafikan keberadaan entitas selain ALLAH SWT pada hati setiap hamba. 

Al-‘Allâmah Syekh Abdul Qadir al-Jailani merupakan seorang Wali yang telah wushûl Kepada ALLAH SWT.

Namanya abadi sebagai jalan yang wajib dilalui para salik untuk sampai kepada Tuhannya, jalan itu bernama tarekat Qadiriyah.

Sebuah tarekat yang menyebar luas di seluruh dunia dan memiliki banyak pengikut. 

Beliau adalah seorang Wali ALLAH yang sangat disegani di kalangan umat Islam sedunia. 

Banyak karya yang telah ditulis semasahidupnya, mulai dari kitab tasawuf hingga fikih. Kitab ini merupakan salah satu dari sekian banyak karyanya. Di dalamnya dibahas cara mendekatkan diri kepada ALLAH dengan sepenuh hati. 

Selamat membaca.

Untuk pemesanan Silahkan chat kami di https://wa.me/6281325276424

Rabu, 18 Maret 2020

SALAFI WAHABI BUKAN PENGIKUT SALAF


SALAFI WAHABI BUKAN “PENGIKUT SALAF”

Salafi-Wahabi sering sekali mengklaim sebagai pengikut ‘manhaj salaf’, baik dalam akidah maupun dalam manhaj. Dan itu terlihat dari bangganya mereka dengan gelaran Salafi, yang berarti pengikut salaf. Tetapi pada kenyataanya, klaim tersebut mudah sekali dipatahkan. 
Dalam buku ini, pembaca akan diajak menyelami manhaj ulama salaf, yaitu ulama yang hidup sebelum tahun 300 hiiriyyah, mulai dari permasalahan akidah sifat (khabariyah/mutasyabihat), masalah taqlid (bermadzhab), ikhtilaf ulama, tasawuf, mengamalkan hadis dhaif, bid'ah hasanah dan amaliyah salaf. Fakta yang akan anda temukan dalam buku ini, manhaj dan pola pemahaman Salafi-Wahabi justru banyak bersebrangan dengan manhaj dan amaliyah ulama salaf. 

Intinya, buku ini fokus menyoroti tentang bagaimana manhaj salaf yang berbeda dengan Salafi-Wahabi dan membedah fakta bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah Asy'ariyah-Maturidiyah dan ulama madzhab empat adalah pengikut salaf yang sejati. Simak ulasannya di buku ini. Selamat membaca….!

SPESIFIKASI BUKU :
Judul : Salafi Wahabi Bukan Pengikut Salaf
Penulis : Nur Hidayat Muhammad
Ukuran : 13,5x20,5 cm
Tebal : xviii + 324 (342) halaman
ISBN : 978-602-5653-53-7
Penerbit : CV. Global Press

Untuk pemesanan silahkan chat ke https://wa.me/6281325276424

KH. MAIMOEN ZUBAIR : NUR NABI MUHAMMAD SAW


**OPEN PRE ORDER**

“Kelahiran yang paling agung di jagat raya ini adalah kelahiran yang terjadi pada diri Rasulullah *shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” *(KH. Maimoen Zubair)

**Keterangan :**

Judul Buku : KH. Maimoen Zubair : Nur Nabi Muhammad SAW

Ketebalan : 440 halaman

Info pemesanan via WA https://wa.me/6281325276424

Pengiriman serentak pada 18-27 Maret 2020 M

#SantriStoreID
#SantriStoreIndonesia #mbahmoen #MbahMoen #khmaimoenzubair #santrisarang #santri #NahdhotulUlama #santripreneur #pondokpesantren 

Selasa, 17 Maret 2020

TERJEMAHAN AL FUTUHAT AL MAKKIYYAH


Menyibak Misteri Pembuka Rahmat Ilahi, Kitab Al-Futuhat Al-Makkiyyah 
Karya Muhyiddin Ibn Al-Arabi ra. 
===========================

"Ilmu pengetahuan tak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu sampai engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya" 

Pepatah di atas menjadi gambaran yang pas tentang bagaimana para ulama mendedikasikan hidup dan kehidupannya demi mendulang ilmu. Di antara sekian banyak pendulang ilmu Ilahi, Asy-Syaikh Al-Akbar Muhammad bin 'Ali Muhyiddin Ibn Al-Arabi ra. adalah salah satu tokoh yang dianggap paling misterius dan kontroversial, baik dalam laku hidup maupun karya-karyanya. Hampir semua karya tulisnya dianggap gelap, tak jelas dan tak patut untuk didaras oleh akal-akal awam. Bahkan sebagian ulama mengharamkan buku-buku beliau untuk dibaca, lantaran khawatir pemahaman yang salah akan membawa pada kesesatan dan pelanggaran syariat.

Tak hanya ulama timur tengah saja, beberapa ulama besar nusantara juga tak ketinggalan memfatwakan hal serupa. Fatwa tersebut digaungkan di depan khalayak ramai, lalu dibawa dan dikampanyekan oleh mereka yang bertaklid buta pada fatwa itu tanpa  berani bertanya dan menanyakan. Namun, sejauh manakah anggapan itu bisa dibenarkan? Apakah sebegitu buruknya adab seorang Syaikh Ibn Al-Arabi ra. hingga berani membongkar rahasia-rahasia Ilahi yang tak patut dibongkar? Benarkah seorang ulama sufi muhaqqiq yang seumur hidupnya hanya mencari dan mengajarkan ilmu itu ternyata hanya mengajarkan kesesatan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengesampingkan terlebih dahulu fatwa-fatwa tersebut, dan secara objektif melihat apa yang disampaikan Sang Syaikh dalam karya-karyanya. Kitab Al-Futuhat Al-Makkiyyah adalah salah satu karya beliau yang cukup bisa mewakili untuk diteliti. Di dalamnya terdapat hampir seluruh tema bahasan yang pernah digagas oleh Syaikh Ibn Al-Arabi ra. Dan karya ini adalah salah satu buah tangan beliau yang diklaim sangat rumit dan tak mudah dipahami. Tidak hanya oleh para pemula, namun juga oleh para kiyai yang mumpuni dan ulama-ulama besar. 

Tak jarang kita mendengar seorang kiyai atau ulama yang membeli kitab ini dalam bahasa aslinya lalu membaca dari halaman muka dan merasa kesulitan. Sukar dan peliknya paparan kitab masih terasa hingga puluhan halaman kemudian. Sampai-sampai sebagian besar mereka seakan putus asa, menutup kitab dan menganggap kitab ini bukan bacaan yang pantas untuk pemahamannya. Kalau bagi seorang ulama dan kiyai saja kitab ini tak pantas dibaca dan tak mudah dipahami, lalu bagaimana dengan orang awam? Demikian kira-kira kesimpulan sebagian beliau untuk kitab ini. 

Seperti pepatah di awal, hanya mereka yang mendedikasikan hampir seluruh waktu hidupnya yang bisa diberi sebagian pemahaman dari karya-karya Syaikh. Salah satunya adalah ulama dari Aljazair, 'Abd Al-Baqi Miftah. Dalam salah satu karyanya, Buhuts Hawla Kutub wa Mafahim Asy-Syaikh Al-Akbar, beliau memberi beberapa panduan untuk bisa menguak misteri kitab Al-Futuhat Al-Makkiyyah. 

Salah satu panduan penting yang sangat jarang dikemukakan peneliti lain adalah tentang susunan kitab. Tidak seperti umumnya karya tulis, bagian-bagian awal dari kitab ini, dari khutbah kitab, mukadimah, isyarat-isyarat tentang huruf pada bab 2, terus sampai penjelasan kalimah basmalah pada bab 5, akan sangat sulit dipahami bagi mereka yang belum memiliki dasar keilmuan dan pengetahuan irfani. Seakan-akan Syaikh menjadikan bab-bab awal ini sebagai sebuah benteng penghalang bagi mereka yang tidak cukup kuat dan tajam ambisi irfaninya untuk memasuki medan pembahasan kitab. Untuk itu, pembaca bisa melewati saja bab-bab yang terasa sulit dan langsung menuju pada bab-bab lain yang lebih banyak mengandung penjelasan dan lebih mudah dipahami.

Puluhan, bahkan ratusan halaman awal pada edisi terjemahannya, memang berisi ringkasan dan kalimat-kalimat padat tanpa penjelasan. Tetapi penjabaran kalimat-kalimat tersebut tersebar di halaman-halaman selanjutnya. Pembaca akan memahami setiap kalimat sulit di awal ketika tema-tema tersebut mulai didedah di sepanjang kitab. 

Tidak seperti anggapan banyak orang, Syaikh Ibn Al-Arabi ra. adalah salah satu penulis yang mampu menjelaskan sesuatu dengan sangat gamblang, jelas dan sistematis. Terkadang, saat menjelaskan satu tema tertentu, diksi tulisan beliau seperti ditujukan pada orang awam, sehingga pilihan kata yang dipakai sangat ringan dan mudah dipahami. 

Di sisi lain, Syaikh Ibn Al-Arabi ra. adalah ulama yang sangat-sangat pandai menjaga adab Ilahi. Beliau tak pernah sekali pun menulis tentang Allah Swt. dan ilmu-ilmu ketuhanan dalam kitab-kitabnya yang tak pantas untuk ditulis. Sering kali saat membahas sesuatu, beliau berhenti pada titik tertentu dan mengatakan bahwa penjelasan lebih jauh tentang masalah tersebut tidak pantas untuk ditulis dalam kitab-kitab. Bagi mereka yang ingin mendapat penjelasan lebih lanjut harus mendengar langsung dari lisan beliau, seperti halnya para sahabat yang mendengar langsung dari lisan Nabi Saw. 

Demikianlah sekelumit panduan untuk menyibak misteri kitab agung ini. Dan tidak seharusnya dugaan-dugaan tak beralasan membuat rahmat Ilahi dalam kalimat-kalimat suci para wali menjadi terhalang bagi hamba-hamba pencari cinta Ilahi.

Syaikh Muhammad bin Alawi Al-Maliki ra., ulama agung guru ulama-ulama nusantara, mengatakan dalam satu kesempatan: Berkata Ibn Al-Arabi, "Sesungguhnya aku sangat berkeinginan mengikuti Rasulullah Saw. dalam segala sesuatu. Dalam gerakanku, diamku, ucapanku dan perbuatanku. Dan tidak ada yang berkurang dariku dari semua itu kecuali satu hal. Aku tidak memiliki putri bernama Fatimah, dan tidak mempunyai menantu bernama 'Ali."

وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ

Untuk pemesanan terjemahan kitab tersebut bisa inbox/chat http://www.wa.me/6281325276424

081325276424

Sudah ada 4 jilid.Nantikan terjemahan jilid2 berikutnya ya...

#SantriStoreID
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

Kamis, 12 Maret 2020

BAHTSUL MASAIL TATA KELOLA MASJID

BAHTSUL MASAIL TATA KELOLA MASJID


Deskripsi Masalah

Masjid merupakan tempat beribadah umat Islam, baik dalam arti khusus (mahdlah) maupun luas (ghairu mahdlah). Bangunannya yang besar, indah dan bersih sangat didambakan, namun masih kurang bermakna apabila tidak ada aktivitas syiar Islam yang semarak. Shalat berjama'ah merupakan parameter adanya kemakmuran masjid dan sekaligus menjadi indikator kereligiusan umat Islam disekitarnya. Kegiatan-kegiatan sosial, dakwah, pendidikan dan lain sebagainya juga akan menambah kesemarakan dalam memakmurkan masjid.

 

Untuk mewujudkan itu semua, masjid ditangani oleh pengurus masjid. Sebagaimana telah dimaklumi bersama bahwa kepengurusan masjid yang berlaku dimasyarakat kita terutama di pedesaan terdiri dari 2 unsur; nadzir dan takmir. Realitanya, nadzir dalam istilah kepengurusan masjid telah mengalami penyempitan makna, yaitu hanya mengurusi "kegiatan peribadatan" saja (shalat jama'ah, shalat jumat, pengajian, dan lain-lain), sementara urusan-urusan seperti pembangunan fisik masjid dan yang lain menjadi wewenang takmir dan seluruh perangkatnya (seksi-seksi), sehingga terkadang terjadi selisih pendapat antara keduanya.

 

Pertanyaan :

Apa pengertian nadzir dan takmir berikut perangkatnya secara fiqh? Apa tugas dan wewenang masing-masing?
Jika terjadi selisih pendapat dalam urusan masjid, manakah yang didahulukan?. Ataukah diambil jalan tengah atau bagaimana?
Apakah ahli waris waqif berhak dan memiliki wewenang untuk mengatur urusan masjid sementara sudah ada pengurusnya?
(LBM NU CABANG DEMAK)

 

Jawaban :

1. Definisi Nadzir dan Takmir beserta tugas dan wewenang

 

Definisi Nadzir

رسالة الاماجد : ص 18

الناظرهو المتولى على الوقف أو المسجد ومتعهده وحافظ الريع والاملا ك

Nadhir adalah orang yg diberi kekuasaan atas waqaf atau Masjid dan melestarikannya serta menjaga penghasilan dan semua harta kekayaannya.

 

رسالة الاماجد : ص 18

فان لم يكن هناك ناظر من جهة الواقف يلزم صلحاء البلد تولية أهل للنظر والولاية وإلا أثموا

Apabila disana [dalam hal waqaf] tidak ada Nadhir yang diangkat oleh waqif, maka tokoh-tokoh islam berkewajiban mengangkat orang yang layak dijadikan Nadhir, dan bila tidak maka berdosalah mereka semua.

 

تحفة المحتاج :ج 6 ص 286

ويجوز ان يكون الناظر اكثر من واحد ويكون احدهم مشرفا يتوقف التصرف على مراجعته

Dan Nadhir boleh itu lebih dari satu dan kemudian salah satunya harus ada yang jadi ketua yang selalu dimintai persetujuan dalam semua tindakan

 

بغية المسترشدين : ص 174

وظيفة الولي فيما تولى فيه حفطه وتعهده والتصرف فيه بالغبطة والمصلحة وصرفه في مصارفه

Tugas penguasa [Nadhir] dalam sesuatu yang dikuasai adalah menjaga, merawat dan bertindak yang menguntungkan serta menguntungkan terhadap yang dikuasai [waqaf] dan menggunakan dalam penggunaan -penggunaan yang semestinya

 

بغية المسترشدين : ص 173

يتبع في النظر ما شرطه الواقف

Harus diikuti dalam ke-Nazdir-an sesuatu yang telah disyaratkan oleh waqif

 

بجيرمى على الخطيب ج 3 ص 216 

يجب العمل بشرط الواقف مالم يناف الوقف اوالشرع

Nadzir wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh waqif selagi tidak menghilangkan waqif dan tidak melanggar syara'

 

Definisi Ta'mir

Ta'mir tidak ada dalam daftar istilah fiqh. Kalau kita teliti bentuk mashdar: Ta'mir, dari akar kata عمّر يعمّر تعميرا, disebutkan oleh Al-Qur'an;  

لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ (Q.S. Al-Baqarah: 96).

وَمَا يُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلَا يُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ (Q.S. Fathir:11).

Artinya adalah 'panjang umur'. Barangkali maksudnya supaya masjid itu hidup panjang umur. Atau memang pengertian tersebut melenceng dan salah.

 

Yang ada adalah kata عمارة, dari kata عمر يعمرعمارة dengan tanpa tasydid pada `ain fi`il-nya, artinya 'meramaikan'. Yang disebut dalam Q.S. At-Taubah ayat 18; إنما يعمر مساجد الله.

Istilah Ta'mir hanya berlaku di kalangan kita, masyarakat Indonesia. Kita masih harus menggali definisi yang lebih detail untuk memberikan hukum berdasarkan fiqh. Karena kedudukan istilah Ta'mir itu sendiri belum jelas untuk dijatuhi hukum.

 

Maka, untuk menghukumi Ta'mir secara fiqh, kita perlu melihat praktek lapangan, bagaimana fungsi dan keberadaan Ta'mir itu sendiri. Apabila Ta'mir merupakan lembaga yang diberi kekuasaan mengelola waqaf (masjid) oleh waqif, maka hukumnya adalah sama dengan Nadzir dalam istilah fiqh. Apabila Ta'mir adalah Susunan kepengurusan masjid yang dibentuk oleh seorang Nadzir (yang notabene bertanggung jawab penuh atas pengelolaan waqaf), maka Ta'mir disini hukumnya sama dengan Wakil Nadzir.

 

حاشية القليوبي : ج 3 - ص 109 

وتجوز الاستنابة في الوظاءف قاله شيخنا تبعا لشيخنا الرملي تبعا للسبكي ولايستنيب الامثلهاواعلى منه

Guru kita yang mengikuti Imam Romli dan Imam Subuki mengatakan bahwa boleh menggantikan pelaksanaan tugas-tugasnya tetapi tidak boleh menggantikannya kecuali kepada orang yang sesamanya (yang memenuhi syarat) atau kepada orang yang lebih tinggi dari padanya

 

الانصاف ج7 ص47 

وقال الحارثي- المشروط له نظرالمسجد له نصب من يقوم بوظائفه من امام ومؤذن وقيم وغيرهم

Al haritsy mengatakan: Orang yang disyaratkan jadi nadhir masjid itu boleh mengangkat orang lain untuk melaksanakan tugasnya seperti mengangkat imam, muadzin, orang yg merawat bangunan masjid dsb

 

تحفة المحتاج :ج 6 ص 291 

وافتى السبكي بان للواقف والناظر من جهته عزل المدرس ونحوه

Imam Subuki telah berfatwa bahwa sesungguhnya bagi waqif dan Nadhir yang diangkat oleh waqif, boleh memecat orang yang mengajar dan sesamanya [ditempat waqaf]

 

بغية المسترشدين ص 65 ط. الحرمين 

(مسألة ي) ليس للناظر العام وهو القاضى أو الوالى النظر فى الأمر الأوقاف وأموال المساجد مع وجود النظر الخاص المتأهل  فحينئذ فما يجمعه الناس ويبذلونه لعمارتها بنحو نذر أو هبة أو صدقة مقبوضين بيد الناظر أو وكيله كالساعى فى العمارة بإذن الناظر بملكه المسجد

 

2. Perselisihan antara Nadzir dan Ta'mir

Maka kembali kepada definisi, bahwa pengambil kebijakan adalah Nadzir. Apabila Ta'mir itu berposisi sebagai قائم على عمارة المسجد dalam istilah fiqih, atau sebagai وكيل الناظر ataupun الساعى فى العمارة, maka Ta'mir hanya mampu untuk memberikan pertimbangan lil mashlahah agar keputusan yang diambil nadzir adalah yang paling mashlahah. Walhasil, apabila ada perselisihan mengenai kebijakan yang paling mashlahah antara Nadzir dan Ta'mir (sebagai kepengurusan masjid yang dibentuk oleh Nadzir), maka yang berhak mengambil kebijakan adalah Nadzir.

 

Apabila muncul pertanyaan berkaitan dengan praktek lapangan mengenai tugas dan fungsi Ta'mir, sebagai قائم على عمارة المسجد dalam pembangunan, yaitu ta'mir menjadi nadzir (pengelola) atas waqaf berupa sumbangan dana pembangunan, yang menjadikan keduanya dihukumi sebagai Nadzir atas waqaf. Maka yang paling berhak atas kebijakan adalah Nadzir yang paling utama, yaitu Nadzir ketua, yang diangkat langsung oleh waqif tanah masjid.

 

3. Hak dan Wewenang Ahli Waris Waqif untuk Urusan Masjid

Ahli waris waqif tidak berhak mengambil kebijakan dalam pengelolaan masjid. Kecuali, bila ahli waris waqif adalah bagian dari Nadzir  yang mengelola masjid. Tapi, dipilihnya menjadi Nadzir ataupun keanggotaan Ta'mir tidak ada sangkut pautnya dengan pribadinya sebagai ahli waris atau bukan

As`ilah Bahtsul Masa`il Pengurus Cabang NU Kab. Demak Masa Khidmah 2012-2017 Putaran ke-8 di Masjid Jami' Desa Jetak Wedung Demak. Ahad Pahing, 18 Shaffar 1437 H / 29 Nopember 2015 M.

(Oleh Muhammad Naufal FA pada Minggu, 29 November 2015)

Senin, 09 Maret 2020

TERJEMAH AL MAHALLI


MENGENAL KITAB “KANZU AR-ROGHIBIN” KARYA JALALUDDIN AL-MAHALLI

Kitab “Kanzu Ar-Roghibin” (كنز الراغبين) termasuk syarah “tua” untuk kitab “Minhaj Ath-Tholibin”. Telah diketahui ada empat syarah terpenting dan menjadi tumpuan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah untuk kitab “Minhaj Ath-Tholibin” di antara ratusan kitab syarah yang ada. Empat kitab tersebut adalah,

“Manhaju Ath-Thullab” karya Zakariyya Al-Anshori (yang kemudian disyarah menjadi “Fathu Al-Wahhab” dan kemudian melahirkan kitab “Futuhat Al-Wahhab” atau yang dikenal dengan nama “Hasyiyah Al-Jamal”),
“Kanzu Ar-Roghibin” karya Jalaluddin Al-Mahalli,
“Tuhfatu Al-Muhtaj” karya Ibnu Hajar Al-Haitami dan
“Nihayatu Al-Muhtaj” karya Syamsuddin Ar-Romli.
Kata “kanzun” bermakna simpanan berharga. Kata “roghibin” bermakna orang-orang yang memiliki keinginan. Dengan nama ini seakan-akan pengarang memaksudkan agar orang yang ingin memahami betul secara detail dan mendalam kitab “Minhaj Ath-Tholibin” maka dia akan mendapati kitab ini sebagai harta simpanan yang tak ternilai harganya. Penulisan kitab ini rampung pada tahun 860 H.

Pengarangnya bernama Al-Mahalli (المحلي). Kaum muslimin di Indonesia tentu tidak asing dengan salah satu karya beliau dalam bidang tafsir yang kemudian terkenal dengan nama tafsir Jalalain. Tafsir ini diawali penulisannya oleh Jalaluddin Al-Mahalli (mulai dari surah Al-Kahfi sampai An-Nas ditambah Al-Fatihah) kemudian disempurnakan oleh Jalaluddin As-Suyuthi (mulai dari Surah Al-Baqoroh sampai Al-Isro’). Oleh karena tafsir ini ditulis oleh “dua Jalal’ maka dia dinamakan tafsir Al-Jalalain”.

Nama lengkap beliau Jalaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli. Nama singkatnya Jalaluddin Al-Mahalli atau Al-Jalal Al-Mahalli atau Al-Mahalli saja. Lahirnya di Kairo, Mesir di awal Syawwal tahun 791 H. Di antara gurunya, Al-Bulqini (w. 805 H), Ibnu Al-Mulaqqin (w.804 H), Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (w.852 H), Asy-Syams Al-Birmawi (831 H), dan lain-lain. Beliau dikenal sangat cerdas sampai diumpamakan akalnya bisa menembus intan. Tidak heran jika beliau hafal matan “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi dalam fikih mazhab Asy-Syafi’i. Di antara murid terkenalnya, As-Suyuthi (911 H) dan As-Sakhowi (w. 902 H). Profesi beliau pedagang. Beliau pernah ditawari menjadi qodhi menggantikan gurunya, Ibnu Hajar tetapi beliau menolak.

Kitab “Kanzu Ar-Roghibin” bisa digolongkan syarah ringkas. Bahasa yang dipakai singkat padat. Sampai-sampai penyebutan dalil pun juga disajikan secara singkat.

Di antara yang menunjukkan tingginya mutu kitab ini adalah dijadikannya sebagai referensi penting oleh “raksasa-raksasa’ ulama Asy-Syafi’iyyah. Al-Haitami menjadikannya sebagai rujukan pada saat menyusun “Tuhfatu Al-Muhtaj”, demikian pula Asy-Syirbini saat menyusun “Mughni Al-Muhtaj” dan tak lupa Ar-Romli saat menyusun “Nihayatu Al-Muhtaj”. Malahan bisa dikatakan bahwa hampir semua syarah untuk “Minhaj Ath-Tholibin” sesudah lahirnya kitab “Kanzu Ar-Roghibin” mesti mengambil dan mengutip kandungan ilmu yang ada di dalamnya. Demikian pentingnya kitab ini sampai-sampai Asy-Syirbini memberikan istilah khusus untuk pengarangnya pada saat menulis “Mughni Al-Muhtaj”, yakni ketika Asy-Syirbini mengutip dari kitab ini. Jika Asy-Syirbini menyebut istilah “Asy-Syarih” (الشارح), maka yang dimaksud adalah Jalaluddin Al-Mahalli dalam “Kanzu Ar-Roghibin” ini.

Kitab ini juga dipuji tinggi oleh Ar-Romli pada saat menulis muqoddimah kitabnya yang bernama “Nihayatu Al-Muhtaj”. Di Al-Azhar Asy-Syarif, kitab ini dipelajari berikut hasyiyah-hasyiyahnya.

Dalam muqodddimah, Al-Mahalli menjelaskan bahwa syarahnya ini berfungsi mengurai lafaz-lafaz An-Nawawi dalam ‘Minhaj Ath-Tholibin”, menjelaskan maksudnya, memudahkan pemahaman ungkapan-ungkapan sulitnya, dan menyingkap tabir makna dengan bahasa yang ringkas. Semua itu dilakukan dengan metode yang konsisten, tidak bertele-tele, mengandung penjelasan dalil dan mengandung penjelasan ta’lil. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur-an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang diperkuat dengan ucapan-ucapan ulama.

Oleh karena kitab ini bermutu tinggi, maka sejumlah ulama telah bangkit untuk membuat hasyiyah-hasyiyah untuknya. Di antaranya adalah, “Al-Ibtihaj bi Hawasyi Al-Minhaj ‘Ala Syarh Al-Mahalli” karya Al-Jalal Al-Bakri (w. 891 H), “Hasyiyah Abu Al-Hasan Al-Bakri (w.952 H), “Hasyiyah Ibnu As-Suyufi” (w.925 H), “Hasyiyah Ahmad Al-Burullusi” (w. 957 H) atau yang lebih terkenal dengan nama “Hasyiyah ‘Amiroh” , “Hasyiyah Ibnu Abdil Haqq As-Sanbathi” (w. 995 H), “Hasyiyah Ibnu Rodhiyuddin Al-Ghozzi” (w.984 H), “Hasyiyah Badruddin Al-Karkhi” (1006 H), “Al-Kasyfu Al-Majli Fi Al-Kalam ‘Ala Al-Minhaj Wa Asy-Syarih Al-Mahalli” karya ‘Ali Al-Muniri (w. 1014 H), “Hasyiyah Zainul ‘Abidin Al-Munawi” (w. 1022 H ), “Hasyiyah Az-Zayyadi” (w. 1024 H), “Fathu At-Tajalli ‘Ala Al-Minhaj Wa Al-Mahalli” karya Muhammad Al-Bairuti (w. 1064 H), “Hasyiyah Al-Qolyubi” (1069 H), “Hasyiyah Abdul Barr Al-Ujhuri” (1070 H), “Hasyiyah Ibnu Kholaf Asy-Syadzili”, dan lain-lain.

Dari sekian banyak hasyiyah itu, yang terkenal dan telah dicetak ada dua yaitu “Hasyiyah Al-Qolyubi” dan “Hasyiyah ‘Amiroh”.

Sejumlah penerbit tercatat pernah mempublikasikan kitab ini seperti penerbit Bulaq di Mesir, Al-Mathba’ah Al-Maimaniyyah, Dar Al-Minhaj, Dar ihya’ Al-Kutub Al-‘Arobiyyah, dan lain-lain.

Dar Al-Minhaj telah mencetak kitab “Kanzu Ar-Roghibin” dalam empat jilid atas jasa tahqiq Mahmud Al-Hadidi dengan ketebalan total sekitar 1500 an halaman. Tahqiq Al-Hadidi terhadap kitab ini layak untuk mendapat perhatian karena beliau sendiri sebagai muhaqqiq sempat langsung mengkajinya lembar-perlembar bersama gurunya, Syaikh Shodiq Muhammad Muhammad Salim dan Syaikh Hasan Al-Brifkani.
Ust Muafa:

Pada bulan Ramadhan tahun 863 H Jalaluddin Al-Mahalli terkena diare. Sakit itu berlanjut sampainya akhirnya beliau wafat pada hari Sabtu pagi di awal tahun 864 H.

رحم الله الجلال المحلي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Alhamdulillah, sekarang Kitab fikih karya Syaikh Jalaluddin Al-Mahalli (KANZUL RAGHIBIN) telah terbit versi Terjemahan nya.

Untuk pemesanan silahkan chat ke https://wa.me/6281325276424

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA - SYARAH SAFINATUN NAJA




TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA
 - SYARAH SAFINATUN NAJA | Pustaka Mampir
Karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantanie

Penerjemah : Zainal Arifin Yahya
Ukuran : 24 cm x 17 cm
Halaman : 747 halaman + 100 lampiran
Cover : Hard Cover
Kertas isi : Book Paper
Berat : 1350 gram
============================================
Daftar Isi :

Penjelasan Tiang-Tiang Penyangga Agama Islam
- Menerangkan Semua Perkara Yang Wajib Kepadanya Untuk Beriman
- Mengenai Kunci Surga, Yaitu Kalimat Tauhid, dan Mengenai Kalimat - Ikhlas dan Kalimat Keselamatan
- Mengenai Penjelasan Baligh-Nya Anak
- Penjelasan Ber-Istinja Dengan Batu
- Mengenai Wudhu
- Mengenai Penjelasan Hukum-Hukum Niat
- Mengenai Air Yang Tidak Dapat Menolak Najis dan Air Yang Tidak Dapat - Menolak Najis dan Air Yang Dapat Menolak Najis
- Mengenai Perkara-Perkara Yang Mewajibkan Mandi
- Mengenai Mandi
- Mengenai Syarat-Syarat Bersuci
- Mengenai Penjelasan Tasydid Dalam Suroh Al-Fatihah dan Tempat Tasydid Tersebut
- Menjelaskan Memandikan Jenazah
- Mengena Kain Kafan
- Mengenai Men-Sholati Atas Jenazah
- Mengenai Perkara Yang Mewajibkan Penggalian Jenazah (Yang Telah Dikuburkan)
- Mengenai Perkara Zakat

Dan Masih Banyak Lagi

Untuk pemesanan silahkan chat ke https://wa.me/6281325276424

Minggu, 08 Maret 2020

HUKUM MEMAKAI GELANG KAKI UNTUK WANITA


HUKUM MEMAKAI GELANG KAKI UNTUK WANITA

Hukumnya diperbolehkan asal tidak berlebihan (isyrof) dan tidak makruh karena hal itu termasuk jenis perhiasan yang dilegalkan dalam Islam menurut para ulama madzhab empat 
(Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) 

Hanya saja,terdapat sebuah pendapat dikalangan Syafi’iyyah atas kelegalan perhiasan kaki diatas asal tidak melebihi batas kewajaran yang berlaku disekitar yang ukuran standardnya tidak lebih berat dari satu mitsqal (4.4 gram). 

Ketentuan kelegalan diatas masih dibatasi bila pemakaian perhiasan diatas murni dengan maksud untuk hiasan diri bukan menarik simpati dari lawan jenis, 
karena bila ini yang terjadi maka menjadi muthlak haram pemakaiannya berdasarkan firman ALLAH Ta’ala :

QS. AL AHZAB 
(Golongan-Golongan yang bersekutu)
 – SURAH 33 ayat 33 [QS. 33:33]

وَ قَرۡنَ فِیۡ بُیُوۡتِکُنَّ وَ لَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاہِلِیَّۃِ الۡاُوۡلٰی وَ اَقِمۡنَ الصَّلٰوۃَ وَ اٰتِیۡنَ الزَّکٰوۃَ وَ اَطِعۡنَ اللّٰہَ وَ رَسُوۡلَہٗ ؕ اِنَّمَا یُرِیۡدُ اللّٰہُ لِیُذۡہِبَ عَنۡکُمُ الرِّجۡسَ اَہۡلَ الۡبَیۡتِ وَ یُطَہِّرَکُمۡ تَطۡہِیۡرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

―QS. 33:33

QS. AN NUUR (Cahaya)
– SURAH 24 ayat 31 [QS. 24:31]

وَ قُلۡ لِّلۡمُؤۡمِنٰتِ یَغۡضُضۡنَ مِنۡ اَبۡصَارِہِنَّ وَ یَحۡفَظۡنَ فُرُوۡجَہُنَّ وَ لَا یُبۡدِیۡنَ زِیۡنَتَہُنَّ اِلَّا مَا ظَہَرَ مِنۡہَا وَ لۡیَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِہِنَّ عَلٰی جُیُوۡبِہِنَّ ۪ وَ لَا یُبۡدِیۡنَ زِیۡنَتَہُنَّ اِلَّا لِبُعُوۡلَتِہِنَّ اَوۡ اٰبَآئِہِنَّ اَوۡ اٰبَآءِ بُعُوۡلَتِہِنَّ اَوۡ اَبۡنَآئِہِنَّ اَوۡ اَبۡنَآءِ بُعُوۡلَتِہِنَّ اَوۡ اِخۡوَانِہِنَّ اَوۡ بَنِیۡۤ اِخۡوَانِہِنَّ اَوۡ بَنِیۡۤ اَخَوٰتِہِنَّ اَوۡ نِسَآئِہِنَّ اَوۡ مَا مَلَکَتۡ اَیۡمَانُہُنَّ اَوِ التّٰبِعِیۡنَ غَیۡرِ اُولِی الۡاِرۡبَۃِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفۡلِ الَّذِیۡنَ لَمۡ یَظۡہَرُوۡا عَلٰی عَوۡرٰتِ النِّسَآءِ ۪ وَ لَا یَضۡرِبۡنَ بِاَرۡجُلِہِنَّ لِیُعۡلَمَ مَا یُخۡفِیۡنَ مِنۡ زِیۡنَتِہِنَّ ؕ وَ تُوۡبُوۡۤا اِلَی اللّٰہِ جَمِیۡعًا اَیُّہَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ لَعَلَّکُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.
Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.
―QS. 24:31

Menurut Ibn Katsir “Konon wanita Arab di zaman Jahiliyyah mengenakan gelang dikakinya, mereka berjalan tanpa suara namun untuk menarik perhatian lawan jenisnya ayunan kakinya dibuat sedemikian rupa hingga menimbulkan suara gemerincing di kakinya dan menarik perhatian dari lawan jenisnya”.

Referensi : 

- I'ANATUT THOLIBIN : 

ﻭﻳﺤﻞ ﺍﻟﺬﻫﺐ ﻭﺍﻟﻔﻀﺔ - ﺑﻼ ﺳﺮﻑ - ﻻﻣﺮﺃﺓ ، ﻭﺻﺒﻲ - ﺇﺟﻤﺎﻋﺎ - ﻓﻲ ﻧﺤﻮ ﺍﻟﺴﻮﺍﺭ ، ﻭﺍﻟﺨﻠﺨﺎﻝ ، ﻭﺍﻟﻨﻌﻞ ، ﻭﺍﻟﻄﻮﻕ

- MUGHNI AL-MUHTAAJ I/392 :

ولا يكره للمرأة لبس خاتم الفضة خلافا للخطابي قاله في المجموع ولم يتعرض الأصحاب لمقدار الخاتم المباح ولعلهم اكتفوا فيه بالعرف أي وهو عرف تلك البلد وعادة أمثاله فيها فما خرج عن ذلك كان إسرافا كما قالوه في خلخال المرأة هذا هو المعتمد وإن قال الأذرعي الصواب ضبطه بدون مثقال لما في صحيح ابن حبان وسنن أبي داود عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال للابس الخاتم الحديد ما لي أرى عليك حلية أهل النار فطرحه فقال يا رسول الله من أي شيء أتخذه قال اتخذه من ورق ولا تتمه مثقالا قال وليس في كلامهم ما يخالفه اه

 - AL-MAUSUUAH AL-FIQHIYYAH VII/88 : 

قَال اللَّهُ تَعَالَى : { وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُْولَى } (2) ….وَلاَ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَأْتِيَ مِنَ الأَْعْمَال مَا يُلْفِتُ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَيَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ الاِفْتِتَانُ بِهَا ، قَال تَعَالَى : { وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ } (7) قَال ابْنُ كَثِيرٍ : كَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا كَانَتْ تَمْشِي فِي الطَّرِيقِ ، وَفِي رِجْلِهَا خَلْخَالٌ صَامِتٌ لاَ يُعْلَمُ صَوْتُهُ ، ضَرَبَتْ بِرِجْلِهَا الأَْرْضَ فَيَسْمَعُ الرِّجَال طَنِينَهُ ، فَنَهَى اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى الْمُؤْمِنَاتِ عَنْ مِثْل ذَلِكَ ، وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ زِينَتِهَا مَسْتُورًا ، فَتَحَرَّكَتْ بِحَرَكَةٍ لِتُظْهِرَ مَا هُوَ خَفِيٌّ دَخَل فِي هَذَا النَّهْيِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ } .
(2) سورة الأحزاب / 33 . (7) سورة النور / 31 .

- AL-MAUSUUAH AL-FIQHIYYAH VII/282 :

الإِْسْرَافُ فِي التَّحَلِّي كَاتِّخَاذِ الْمَرْأَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَلْخَالٍ مِنَ الذَّهَبِ : 11 - إِذَا اتَّخَذَتِ امْرَأَةٌ خَلاَخِل كَثِيرَةً لِلْمُغَايَرَةِ فِي اللُّبْسِ جَازَ ؛ لأَِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا اتِّخَاذُ مَا جَرَتْ عَادَتُهُنَّ بِلُبْسِهِ مِنَ الذَّهَبِ ، قَل ذَلِكَ أَوْ كَثُرَ ، لإِِطْلاَقِ الأَْدِلَّةِ كَقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُحِل الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لإِِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا . (2) وَفِي الْمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَجْهٌ بِالْمَنْعِ إِذَا كَانَ فِيهِ سَرَفٌ ظَاهِرٌ ، وَالْمَذْهَبُ الْقَطْعُ بِالْجَوَازِ . (3)
(3) المجموع ( 6 / 40 ) ، وكشاف القناع ( 2 / 239 ) ، والقوانين الفقهية ( ص430 ) ، وابن عابدين ( 5 / 224 ،

PISSKTB
Wallahu a'lam...

#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

99 KIAI KHARISMATIK INDONESIA JILID 1: RIWAYAT, PERJUANGAN, DOA DAN HIZIB


99 KIAI KHARISMATIK INDONESIA JILID 1: RIWAYAT, PERJUANGAN, DOA DAN HIZIB

Kertas: Bookpaper
Cover: Soft Cover

Deskripsi
-----------

Kehadiran buku bertajuk "99 kiai Kharismatik Indonesia" ini berisi kumpulan biografi para ulama dan kiai paling berpengaruh dalam perkembangan Islam di Indonesia. Penulisnya adalah KH. A. Aziz Masyhuri, salah satu kiai penulis yang berkontribusi besar mendokumentasikan berbagai naskah penting organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Sehingga dalam penulisan buku ini, penulis menyajikan hasil penelusuran dan perenungannya selama bertahun-tahun, menyusun serpihan-serpihan kisah para kiai yang tercecer menjadi biografi yang utuh.

Dalam buku ini dimuat 19 biografi ulama dan kiai, yakni diantaranya: Kiai Qamaruddin, Kiai Cholil, Syekh Nawawi Banten, Kiai Sholeh Darat, Syekh Mahfudz Tremas, Kiai Raden Munawwir, Kiai Zainal musthofa, Kiai Abbas Buntet dan Kiai Hasyim Asy'ari.

Pembaca diajak bertamasya menyelami kembali latar sejarah masa lampau, menelusuri perjalanan dan perjuangan para kiai dalam mempelajari Islam, mendidik umat, hingga jihad memebela tanah air dari penjajahan.

pada buku ini pula kita akan menyaksikan pengalaman-pengalaman luar biasa dan karomah para kiai dan ulama yang dekat dengan Allah. pelajaran itulah yang semoga bisa membuka hati, dipetik hikmah dan inspirasinya, sebagai bekal mengarungi kehidupan di tengah zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini.

Untuk info pemesanan bukunya silahkan hubungi ke 

https://wa.me/6281325276424

 Kami juga menyediakan berbagai buku bertema keislaman, Santri, Ulama Nusantara.

Terima kasih

#SantriStoreID
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

Jumat, 21 Februari 2020

HUKUM MENGKONSUMSI KEPITING

HUKUM MENGKONSUMSI KEPITING

Tidak dapat dipungkiri, kepiting merupakan makanan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Di samping rasanya yang lezat, makanan laut yang satu ini mengandung beragam gizi penting, meliputi: energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B1, dan kolesterol. Selain itu, kepiting juga mengandung asam folat, vitamin B kompleks, mmega-3, serta berbagai mineral. Kepiting dalam fiqih dikenal dengan istilah “al-hayawan al-barma’i", yaitu binatang yang dapat hidup di darat dan di laut, sebagaimana katak, penyu, dan buaya. Karenanya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi binatang yang kaya kolesterol ini. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 4, halaman 2799).

Pertama, ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i menegaskan, mengonsumsi kepiting hukumnya haram, sebab termasuk kategori khaba’its (sesuatu yang menjijikkan).  Ulama mazhab Hanafi mengharamkan kepiting, karena menurut mereka, binatang laut yang halal dikonsumsi hanya ikan semata. Sedangkan binatang lain selain ikan hukumnya haram, walaupun hidup di laut. Imam Ibnu Abidin menerangkan:

 وَمَا عَدَا أَنْوَاعُ السَّمَكِ مِنْ نَحْوِ إِنْسَانِ الْمَاءِ وَخِنْزِيْرِهِ خَبِيْثٌ فَبَقِيَ دَاخِلًا تَحْتَ التَّحْرِيْمِ. وَحَدِيْثُ (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَالْحِلُّ مَيْتَتُهُ) الْمُرَادُ مِنْهُ السَّمَكُ "
Dan selain berbagai macam ikan, seperti manusia laut dan babi laut, adalah menjijikkan dan masuk kategori haram. Sedangkan hadits; (Laut itu suci airnya dan halal bangkainya), maksudnya adalah ikan." (Lihat: Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 6, halaman 307.  Imam At Thahawi dalam kitab Mukhtashar Ikhtilafil Ulama menyebutkan:

 وَلَا يُؤْكَلُ شَيْءٌ مِنْ حَيَوَانِ الْبَحْرِ إِلَّا السَّمَكَ

"Dan binatang laut dalam bentuk apa pun tidak boleh dimakan kecuali ikan." (Lihat: At Thahawi, Mukhtashar Ikhtilafil Ulama, juz 3, halaman 214). Sama dengan mazhab Hanafi, kitab-kitab mazhab Syafi’i pun juga secara tegas menyebutkan keharaman mengonsumsi kepiting. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menuliskan: 
وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ، وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيْحِ الْمَنْصُوْصِ، وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ 

 Syekh Abu Hamid dan Imam al-Haramain memasukkan katak dan kepiting ke dalam kategori binatang yang dapat hidup di dua tempat. Dua binatang tersebut diharamkan menurut pendapat yang shahih dan tercatat dalam mazhab. Dan dengan hukum haram ini, mayoritas ulama mazhab memutuskan. (Lihat: Imam Nawawi, Al-Majmu’, juz 9, halaman 30).  Imam Ad Dumairi berkata:
 يَحْرُمُ أَكْلُهُ لِاسْتِخْبَائِهِ كَالصَّدَفِ، قَالَ الرَّافِعِي : ولِمَا فِيْهِ مِنَ الضَّرَرِ

 "Haram memakan kepiting karena ia selalu menyelinap (bersembunyi) seperti kerang. Imam Rafi’i berkata: Dan karena ia mengandung bahaya. (Lihat: Ad Dumairi, Hayatul Hayawan al-Kubra, juz 1, halaman 391). Kedua, menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanbali, kepiting halal dikonsumsi. Seorang ulama bermazhab Maliki bernama Ibnu Abdil Bar menyebutkan: 
  وَصَيْدُ البَحْرِ كُلُّهُ حَلَالٌ إِلَّا أَنَّ مَالِكاً يَكْرَهُ خِنْزِيْرَ الْمَاءِ لِاسْمِهِ وَكَذَلِكَ كَلْبُ الْمَاءِ عِنْدَهُ وَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ السَّرَطَانِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَالضِّفْدَعِ 

Dan binatang buruan laut semuanya halal, hanya saja imam Malik memakruhkan babi laut karena namanya, begitu pula anjing laut, menurutnya. Dan tidak haram memakan kepiting, penyu, dan katak. (Lihat: Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, juz 1, halaman 187).

Senada dengan ulama mazhab Maliki, para ulama mazhab Hanbali juga menghalalkan kepiting. Ibnu Muflih menuturkan:
    وَعَنْهُ – أَيْ عَنْ أَحْمَدَ - فِي السَّرَطَانِ وَسَائِرِ الْبَحْرِيْ : أَنَّهُ يَحِلُّ بِلَا ذَكَاةٍ؛ لِأَنَّ السَّرَطَانَ لَا دَمَ فِيْهِ 
Dan dari imam Ahmad tentang hukum kepiting dan berbagai binatang laut: Ia halal sekalipun tidak disembelih, sebab kepiting tidak memiliki darah (mengalir). (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, juz 9, halaman 214). Sedangkan dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan:
 كُلُّ مَا يَعِيْشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ كَطَيْرِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَكَلْبِ الْمَاءِ إِلَّا مَا لَا دَمَ فِيْهِ كَالسَّرَطَانِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ 

Setiap apa yang (dapat) hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih. (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, halaman 337) Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hukum kepiting. Dalam fatwa tersebut diputuskan bahwa kepiting halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Fatwa ini didasarkan pada hasil temuan mereka yang menyebutkan bahwa kepiting merupakan binatang air, baik di air laut maupun di air awar, dan bukan binatang yang hidup di dua alam; di laut dan di darat.  Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi kepiting. Ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i mengharamkannya, sementara ulama mazhab Maliki dan Hanbali menghalalkannya. Adapun Majelis Ulama Indonesia juga menghalalkan kepiting.  Artinya, para pembaca yang budiman disuguhi dua pendapat berbeda tentang hukum mengonsumsi kepiting; halal dan haram. Bagi orang yang ingin berhati-hati dalam masalah hukum agama, ia bisa memilih pendapat yang mengharamkannya. Dan baginya, berbagai alternatif makanan lain yang kandungan gizi dan vitaminnya tidak kalah dari kepiting, seperti udang, cumi-cumi dan berbagai ikan laut lainnya. Sedangkan bagi pecinta kepiting, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang menghalalkannya, sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatannya. Wallahu A’lam.     

https://islam.nu.or.id/post/read/104682/ragam-pendapat-ulama-soal-hukum-mengonsumsi-kepiting

Kamis, 13 Februari 2020

MACAM-MACAM TALAK YANG HARUS DIWASPADAI OLEH SUAMI

MACAM-MACAM TALAK YANG HARUS DIWASPADAI OLEH SUAMI

MANUSKRIP TAHLIL BERUSIA LEBIH 200 TAHUN, INI SAKSI TRADISI

MANUSKRIP TAHLIL BERUSIA LEBIH 200 TAHUN, INI SAKSI TRADISI

Biasanya para kiai NU kalau ditanya tahlilan dimulai dari kapan? Mereka akan menjawab "mulai wali songo". Demikian pula ketika ditanya susunan kalimat tahlil itu dari siapa? Mereka menjawab "wali songo". Jawaban tersebut ada benarnya.

“Karena kami telah menemukan manuskrip tahlil dari kitab peninggalan mbah Kiai Haji Moch Ilyas (Penarip Mojokerto) yang berasal dari Kesesi Pekalongan dalam kitab tulisan tangan dari kertas kulit yang usianya lebih dari 200 tahun,” kata Kiai Muhammad Rofi'i Ismail, Mojokerto, Jawa Timur pada akun facebooknya.

Dijelaskannya, tertulis "Ratib kang dilampahake kiai pondok Tegalsari (Ponorogo)" yang berdiri pada 1722 M. Kalimat-kalimatnya persis dengan yang ada sekarang termasuk sholawatnya yang tidak pernah kami temukan dari kitab-kitab Mu'tabaroh (kita yang diakui para ulama untuk dipelajari di Pesantren, red).

“Hanya saja ayat-ayat Al-Qur'an nya lebih banyak 2 kali lipat. Mungkin yang ada sekarang ini adalah ringkasan dan pada akhirnya ada doa untuk arwah. Semoga ini bermanfaat fiddini waddunya wal akhirah,” tuturnya, pada ngopibareng.id, Selasa (23/1/2018).

Kelaziman di Indonesia, sebagaian besar umat Islam mengamalkan tradisi tahlilan. Khususnya, terkait dengan meninggalnya seseorang sebagai doa dari keluarga. Hal itu, terjadi khususnya di Pulau Jawa yang tak lepas dari kebiasaan tahlilan, yang kemudian menjadi tradisi kaum Muslimin di negeri ini. (adi)


AHKAMUL FUQAHA, SOLUSI PROBLEMATIKA AKTUAL HUKUM ISLAM


AHKAMUL FUQAHA, SOLUSI PROBLEMATIKA AKTUAL HUKUM ISLAM

Buku ini merangkum dokumen khusus dan eksklusif dari Bahtsul Masail NU yang telah diputuskan melalui Muktamar, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 2015.

Semua sumber rujukan yang dijadikan daftar pengambilan hukum ditulis dengan huruf Arab bersyakal (masykul) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diberi catatan kaki, sehingga bisa dimengerti secara luas dan mempermudah penelusuran pada sumber aslinya.

Disamping itu, juga ditampilkan dua model daftar isi di halaman depan, daftar isi urut sesuai muktamnar, mulai muktamar pertama muktamar sampai Jombang tahun 2015. Sedangkan di halaman akhir, daftar isinya diklasifikasi seperti bab haji sendiri, bab nikah sendiri dan seterusnya, jadi para pembaca akan lebih mudah dalam mencari kategori masalah yang diinginkan.

“Dari sekian ilmu agama, fiqih dianggap paling penting di lingkungan NU. Sebab, fiqih merupakan petunjuk bagi seluruh perilaku dan penjelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Fiqih merupakan tuntunan praktis mempraktekkan agama dalam berbagai bidang kehidupan, dari soal beribadah hingga berpolitik”, (KH. Miftahul Ahyar, Rois Aam PBNU).

“Keputusan yang dihasilkan NU melalui Muktamar dan Munas ini memiliki kekuatan hukum dan bisa dijadikan rujukan, karena merupakan hasil istimbath jama’i yang memiliki otoritas tertinggi di organisasi Nahdlatul Ulama. Para ulama dalam forum bahtsul masail telah menjadikan kutubul mu’tabarah yang diakui kualitas dan validitasnya sebagai rujukan, sehingga produk yang dihadirkan sangat otoritatif dan layak menjadi rujukan bersama”, (Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU).

Data buku :
Judul : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
Tebal : 1.360 halaman
Ukuran : 16 x 24 cm
Info : https://wa.me/6281325276424

081325276424


Rabu, 12 Februari 2020

HUKUM SHOLAT JUM'AH KURANG DARI 40 ORANG

HUKUM SHOLAT JUM'AH KURANG DARI 40 ORANG 

(مسألة: ج): المذهب عدم صحة الجمعة بمن لم يكمل فيهم العدد، واختار بعض الأصحاب جوازها بأقل من أربعين تقليداً للقائل به، 

Menurut Madzhab Syafi'i tidak sah sholat Jum'at dengan hitungan kurang dari 40 orang. Dan sebagian Ash-habus Syafi'iyyah memilih pada boleh nya sholat Jum'at dengan hitungan kurang dari 40 dengan taqlid pada pendapat yang membolehkannya. Masalah hitungan jama'ah dalam sholat Jum'at itu ulama' berbeda-beda pendapat hingga sampai 25 pendapat.

Namun pendapat yang paling mu'tamad adalah 40. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad yang di ceritakan oleh Awza'i dan Abi Nashir adalah 4 orang sah. Menurut Ibnu Hazm 2 orang cukup seperti jema'ah biasa.. [ Bughyah bab salat jum'at ]. 
-------------------------------------------------------------------

ثم قال الشيخ سالم الحضري في كتابه المذكورة نمرة 21 ان للشافعي رحمهالله تعالى فب العدد الذي تنعقد به الجمعة اربعة اقوال قول معتمد وهو الجديد وهو كونهم اربعين بالشروط المذكورة , وثلاثة اقوال في المذهب القديم ضعيفة احدها اربعة احدهم الامام والثاني ثلاثة احدهم الامام والثالث اثنى عشر احدهم الامام , فعلى العاقل الطالب ما عند الله تعالى من ثوابه ورضاه ان لايترك الجمعة ما نأتي فعلها على واحد من هذه الاقوال الاربعة ولكن اذا لم تعلم الجمعة انها متوفرة فيها الشروط على القول الاول وهو القول الجديد فيسن اعادة الظهر بعدها احتياطا فرارا من خلاف من منعها بدون اربعين اهـ . رسالة الجمعة 
[ Risalah Jum'ah Halaman 5 ] 

Berkata As-syaikh Salim Al-Hudlori dalam kitabnya hal.21 :Dalam Madzhab Syafi’i mengenai jumlah yang menjadi ketentuan sholat Jum’at ada empat Qoul, 
yang mu’tamad adalah Qoul Jadid mengharuskan jumlah jamaah sholat Jum’at 40 orang. 
Tiga Qoul lain adalah Qoul Qodim dan hukumnya dlo’if yaitu : 

- 4 orang salah satunya imam 
- 3 orang salah satunya imam 
- 12 orang salah satunya imam 

Bagi orang ‘Aqil yang mencari ridlo ALLAH hendaknya tidak meninggalkan sholat Jum’at dengan cara menjalankan salah satu dari empat Qoul yang telah disebutkan. Tetapi jika tidak tahu/ yaqin apakah sholat Jum’at nya memenuhi syarat Qoul pertama maka di sunnahkan mengulang sholat Dhuhur, untuk berhati-hati dan menghindar dari dari ulama’ yang melarang sholat Jum’at kurang dari 40 orang.

Dalam Qoul Qodimnya Imam Syafi'i disebutkan boleh shalat jum'at dengan 4 orang saja, dan Qoul Qodim tersebut boleh diikuti/ diamalkan karena Qoul tersebut telah dikuatkan oleh AL ASHHABUS SYAFI'I yaitu Imam Al-Muzaniy, Imam Ibnu Al-Mundzir, dan Imam As Suyuthiy. Fihris Ianah 2/58-59 dan Bughyah Al-Mmustarsyidin halaman 81

قوله أى غير الإمام الشافعي أى باعتبار مذهبه الجديد فلا ينافي أن له قولين قديمين في العدد أيضا أحدهما أقلهم أربعة حكاه عنه صاحب التلخيص وحكاه في شرح المهذب واختاره من أصحابه المزني كما نقله الأذرعي في القوت وكفى به سلفا في ترجيحه فإنه من كبار أصحاب الشافعي ورواة كتبه الجديدة وقد رجحه أيضا أبو بكر بن المنذر في الأشراف كما نقله النووي في شرح المهذب ثاني القولين اثنا عشر وهل يجوز تقليد أحد هذين القولين الجواب نعم فإنه قول للإمام نصره بعض أصحابه ورجحه وقولهم القديم لا يعمل به محله مالم يعضده الأصحاب ويرجحوه وإلا صار راجحا من هذه الحيثية وإن كان مرجوحا من حيث نسبته للإمام وقال السيوطي كثيرا ما يقول أصحابنا بتقليد أبي حنيفة في هذه المسئلة وهو إختياري إذ هو قول للشافعي قام الدليل على رجحانه إه وحينئذ تقليد أحد هذه القولين أولى من تقليد أبي حنيفة فتنبه وقد ألفت رسالة تتعلق بجواز العمل بالقول القديم للإمام الشافعي رضي الله عنه في صحة الجمعة بأربعة وبغير ذلك فانظرها إن شئت. إعانة الطالبين ٢/٥٨-٥٩ 

Dalam kasus di atas menurut imam Al Bulqiniy harus shalat Dhuhur, akan tetapi kalau sholat Jum'at karena taqlid pada Imam yang memperboleh kurang dari 40 orang jga boleh dan lebih baik lagi bila sholat Jum'at kemudian disertai dengan shalat Dhuhur. Bahkan menurut sebagian Ulama, takutlah meninggalkan sholat Jum'at walaupun kurang dari 40 orang karena sholat Jum'at bagian dari rahmat ALLAH dan pelebur dosa dalam seminggu. :

.وسئل البلقيني عن أهل قرية لا يبلغ عددهم أربعين يصلون الجمعة أو الظهر فأجاب رحمه الله يصلون الظهر على مذهب الشافعي وقد أجاز جمع من العلماء أن يصلون الجمعة وهو قوي فإذا قلدوا أى جميعهم من قال هذه المقالة فإنهم يصلون الجمعة وإن احتاطوا فصلوا الجمعة ثم الظهر كان حسنا، والذي يظهر عدم اشتراط تقليد جميعهم إذا كان المقلد بفتح اللام يقول باكتفائه في الجمعة. وقال بعضهم إعلم أن أمر الجمعة عظيم وهي نعمة جسيمة إمتن الله بها على عباده فهي من خصائصنا جعلها الله محط رحمته ومطهرة لأثام الأسبوع ولشدة إعتناء السلف الصالح بها كانوا يبكرون لها على السرج فاحذر أن تتهاون بها مسافرا أومقيما ولو مع دون أربعين بتقليد والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم.إعانة الطالبين ٢/٥٨-٥٩ 

PISS KTB
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

Selasa, 11 Februari 2020

BOLEHKAH MEMASANG KAWAT GIGI?

BOLEHKAH MEMASANG KAWAT GIGI? 

Assalamu’alaikum wr. Wb 
Redaksi Bahtsul Masail NU yang saya hormati. Sekarang ini kita sering mendapati anak-anak muda dan juga remaja memasang behel di gigi. Kalau ditanya, mereka memiliki keperluan bermacam-macam atas pemasangan behel di giginya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. 

Wassalamu’alaikum wr. wb (Ciganjur/M Yunus) 

Jawaban Assalamu’alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt di mana pun berada. Perihal pemasangan behel di gigi untuk sebuah kepentingan tertentu seperti alasan publik pada lazimnya merapikan posisi gigi, sangat baik. Behel sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kawat. Sampai di sini, para ulama tidak berbeda pendapat. Asy-Syaukani menyebutkan sebagai berikut.

 أقول: الأصل الحل كما يفيده قوله عزوجل: {هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ} [البقرة: 29] ، وقوله: {قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ} [الأعراف: 32] ، فلا ينقل عن هذا الأصل المدلول عليه بعموم الكتاب العزيز إلا ما خصه دليل ولم يخص الدليل إلا الأكل والشرب في آنية الذهب والتحلي بالذهب للرجال فالواجب الاقتصار على هذا الناقل وعدم القول بما لا دليل عليه بما هو خلاف الدليل ولم يرد غير هذا فتحريم الاستعمال على العموم قول بلا دليل وما كان ربك نسيا. 

Hemat kami, pada prinsipnya semua itu boleh seperti dikatakan firman Allah “Dia yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk kalian,” (Al-Baqarah ayat 29) dan “Katakan, siapakah orang yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik-baik,” (Al-A’raf ayat 32). 

Belum ada nukilan makna umumnya lafal ayat Al-Quran di atas dari prinsip ini kecuali dalil lain yang membatasinya. Sementara ini tidak ada yang membatasi dalil di atas kecuali hadits yang melarang untuk makan dan minum di wadah terbuat dari emas maupun perak, dan perhiasan emas bagi pria. Karenanya, kita harus membatasi diri pada nukilan di atas; dan tidak perlu berpendapat tanpa dalil yang justru bertentangan dengan dalil yang sudah ada. Sedangkan dalam masalah ini, belum ada dalil lain selain dalil di atas. 

Karenanya, pengharaman terhadap penggunaan perhiasan itu berdasarkan umumnya dalil di atas, merupakan pendapat tanpa dasar. Tuhan sendiri bukan pelupa. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm). Adapun hadits larangan makan dan minum pakai wadah emas dan perak yang dimaksud Asy-Syaukani ialah sebagai berikut.

قَوْله صلى الله عليه وسلم: "لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ اَلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِها، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدنيا، ولكم في الآخرة". متفق عليه 

Jangan kamu minum di wadah emas dan perak. Jangan juga makan di piring yang terbuat daripadanya. Semua itu (emas dan perak) untuk mereka (orang musyrik) di dunia dan untuk kamu di akhirat. (HR Bukhari dan Muslim). 

Lalu bagaimana hukumnya menggunakan emas atau perak sebagai perhiasan? Sampai di sini, para ulama berbeda pendapat. Asy-Syaukani mengambil posisi sebagai berikut.

 وأما قوله: "والتجمل بها" فوجهه أن ذلك مما أحله الله ولم يحرمه كما لم يحرم استعمال الذهب والفضة في غير الأكل والشرب والتحلي بالذهب فالكل حلال طلق أباحه الذي خلقه لعباده لا يسأل عما يفعل وهم يسألون

Adapun “berhias dengan emas” mesti dilihat bahwa itu termasuk yang dibolehkan oleh Allah dan tidak diharamkan. Persis seperti Allah tidak mengharamkan penggunaan emas dan perak untuk selain makan dan minum. Dia tidak mengharamkan berhias dengan emas (untuk kalangan wanita). Semua itu halal dan bebas yang Allah izinkan hamba-Nya untuk menikmati ciptaan-Nya. Dia tidak ditanya atas apa yang diperbuat-Nya. Sementara merekalah yang akan dimintakan pertanggungjawaban. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm). 

Berikut ini pandangan madzhab Hanbali dan Syafi’i perihal emas atau perak yang sudah disepuh.

 وقال الحنابلة مثل الشافعية: يحرم المضبب بضبة كثيرة من الذهب أو الفضة، لحاجة أو غيرها. ولا يباح اليسير من الذهب إلا للضرورة كأنف الذهب وما ربط به الأسنان، ويباح اليسير من الفضة؛ لحاجة الناس إليه

Seperti kalangan Syafi’iyah, madzhab Hanbali berpendapat, haram menggunakan logam campuran emas dan perak di mana keduanya lebih dominan daripada logam jenis lainnya baik untuk suatu hajat dan lainnya. Meskipun sedikit, haram menggunakan emas kecuali karena darurat seperti membuat hidung dari emas dan untuk mengikat gigi. Sedangkan penggunaan sedikit perak diperbolehkan untuk suatu kepentingan. (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, Juz 10). 

Sementara untuk kepentingan perhiasan dari emas, Madzhab Hanbali memberikan rukhshah (keringanan).

 وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلذَّكَرِ أَنْ يَتَّخِذَ قَبِيعَةَ سَيْفِهِ مِنَ الذَّهَبِ؛ لأَِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ لَهُ سَيْفٌ فِيهِ سَبَائِكُ مِنْ ذَهَبٍ، وَأَيْضًا فَإِنَّ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ كَانَ فِي سَيْفِهِ مِسْمَارٌ مِنْ ذَهَبٍ، ذَكَرَهُمَا أَحْمَدُ لِذَا رَخَّصَ فِي ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ لَهُ رِوَايَةٌ أُخْرَى بِتَحْرِيمِ ذَلِكَ مِثْل الْجُمْهُورِ

Madzhab Hanbali berpendapat, boleh bagi kalangan pria untuk membuat gagang pedang dari emas karena Sayyidina Umar bin Khattab memiliki pedang dengan leburan logam emas. Ustman bin Hunaif juga memiliki pedang yang pakunya terbuat dari emas.Riwayat ini disebutkan Imam Ahmad. Karenanya ia memberikan rukhshah pada masalah ini kendati ada sebuah riwayat yang mengharamkannya seperti yang disebutkan jumhur ulama. (Lihat Kementerian Waqaf dan Agama Kuwait, Mausu’atu Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 45, cetakan kementerian agama setempat). 

Sementara salah seorang pemuka Madzhab Hanbali Ibnu Qudamah mengutip riwayat sejumlah salafus saleh yang memakai emas dan jenis logam lainnya untuk kepentingan gigi mereka.

 وروى الأثرم عن أبي جمرة الضبعي وموسى بن طلحة وأبي رافع وثابت البناني واسماعيل بن زيد بن ثابت والمغيرة بن عبد الله أنهم شدوا أسنانهم بالذهب وما عدا ذلك من الذهب 

Al-Atsram meriwayatkan dari Abu Jamroh, Musa bin Thalhah, Abu Rofi’, Tsabit Al-Banani, Ismail bin Zaid bin Tsabit, dan Mughiroh bin Abdullah bahwa mereka menguatkan gigi mereka dengan emas dan logam jenis selain emas. (Lihat Ibnu Qudamah, Asy-Syarhul Kabir alal matnil Muqni’, Darul Kitab Al-Arabi). 

Adapun sebagian orang mengharamkan pengubahan ciptaan Allah berdasarkan surat ar-Rum ayat 30 berikut.

 فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 

Tegakkan wajahmu pada agama yang lurus, sebuah fithrah Allah yang ditetapkannya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama lurus. Tetapi kebanyakan orang tidak tahu. (Ar-Rum ayat 30). 

Menurut hemat kami, pertama penggunaan dalil ini untuk mengharamkan pasang behel, cangkok jantung, menambal (maaf) sumbing, atau cukur rambut misalnya, tidak mengena. Pasalnya “fithrah Allah” yang dimaksud oleh para ulama tafsir, bukan tampilan fisik manusia, tetapi Islam. Allah tidak mengubah Islam setiap anak yang lahir ke dunia. Tetapi orang tua yang mengubah Islam setiap anak menjadi yahudi, Nashrani, atau Majusi. Kedua, pemakaian “La tabdila li khalqillah” (Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu) sebagai dalil pengharaman, mengandung problematik. 

Karena dalil ini tidak bicara secara spesifik sehingga bisa menyasar apa saja. Semacam pasal "karet" yang liar. Dengan dalil ini segala sesuatu bisa jadi haram seperti membuat lemari dari kayu pohon, menambal (maaf) bibir sumbing sejak lahir, dan atau memotong tali pusat bayi. Para pembaca yang budiman, khususnya saudara Yunus, perihal pasang behel/kawat di gigi sejauh ini tidak ada dalil yang mengharamkan. Terlebih lagi kawat yang dipasang di gigi terbuat dari bukan logam emas atau pun perak. Pemasangannya pun berada di bawah pantauan dokter ahli. Sejauh tidak menimbulkan mudharat, pemasangan kawat di gigi untuk kepentingan kerapian gigi misalnya, tidak masalah. 

Demikian jawaban yang dapat kami utarakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi mereka yang ingin memasang kawat di gigi, kami sarankan penanganannya berada di bawah dokter ahli. Untuk meminimalkan kemungkinan mudharat. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq Wassalamu’alaikum wr. Wb (Alhafiz Kurniawan) 

#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama

Senin, 10 Februari 2020

MENGENAL LEBIH DEKAT KH HABIBULLOH ZAINI LIRBOYO: TELADAN KESAHAJAAN DAN PENCINTA ILMU

MENGENAL LEBIH DEKAT KH HABIBULLOH ZAINI LIRBOYO: TELADAN KESAHAJAAN DAN PENCINTA ILMU

KH Habibulloh Zaini Lirboyo. Beliau lahir pada bulan Agustus 1954. Putra kedua dari pasangan KH Zaini Munawwir Krapyak dan Nyai Qomariyah Abdul Karim Lirboyo. Kiai Zaini dan Nyai Qomariyyah memiliki 4 putra. Putra pertama wafat saat masih kecil. Kemudian putra kedua, almarhum H. Thoha Zaini, bapak saya. Putra ketiga adalah KH Habibulloh Zaini, dan putra bungsunya adalah almarhum Hasan Zaini. 

Sejak kecil Kiai Habibulloh belajar di bawah pengampuan orang tua dan para gurunya di Pesantren Lirboyo, Kediri. Setamat dari Lirboyo, beliau melanjutkan nyantri di Pesantren Tanggir, Tuban. Usai nyantri di Pesantren Tanggir, beliau pulang kembali ke Lirboyo, menikah dan melanjutkan pengabdiannya sebagai dzurriyyah Lirboyo, mengajar dan mengasuh santri. 

Kiai Habibulloh beristrikan Nyai Sa'adah dan memiliki 4 orang putra-putri. Saya memanggil keempat sepupu saya itu dengan panggilan Bulek Lia Hikmatul Maula Yasser Lanaa Umuronaa, Lek A. Khuwarizmi Ijtabahu Robbuhu Khuwaarizmiy Ahmad, Bulek Arina Maqsuroh Fil Khiyam Arina M. Filkhiyam, Lek A. Himi Biknada.

Kiai Habibulloh Zaini adalah sosok pecinta ilmu yang bersahaja, tekun dan telaten. Pada masa kepengasuhan Kiai Idris Marzuki, Kiai Habibulloh mendapatkan amanah untuk menjadi kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Pesantren Lirboyo. Dan saat ini beliau adalah salah satu pengasuh Pesantren tersebut.

Kiai Habibulloh termasuk sosok yang jarang bepergian. Di waktu sehatnya, aktifitas utamanya adalah mengaji dan mengasuh santri. Karena ndalemnya yang berada tepat di depan Masjid Lawang Songo Lirboyo, maka tiap kali ngimami, beliau cukup ke masjid dengan melawati "bancik" yang menghubungkan ndalem beliau dengan masjid Lawang Songo. (Bancik adalah semacam media seukuruan ubin yang digunakan untuk menghubungkan antar bangunan. Bancik banyak ditemui di Pesantren Lirboyo yang terbukti efektif sebagai media yang menghubungkan antara bangunan di area pesantren yang total luasnya lebih dari 5 hektar itu).

*BERSAHAJA DAN MENCINTAI ILMU*
Kiai Habibulloh adalah sosok yang bersahaja dan mencintai ilmu. Kebersahajaan beliau dapat dilihat dari sikap hidupnya sehari-hari. Dari cara berpakaian, cara dahar, cara berkomunikasi dengan orang-orang yang ditemuinya. Beliau juga selalu berhati-hati dalam persoalan fiqh, akhlak dan serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Kesederhanaan dan akhlak beliau sungguh tampak saat berdekatan dengan beliau. Ketawadluan beliau juga akan dapat terlihat dari melihat sikap tubuh beliau kala beliau berada satu majelis dengan kiai-kiai yang lain. 

Saya teringat saat beliau mengantar saya ke Kajen, ketika saya menikah. Waktu itu, bapak saya sudah wafat. Karena beliau adalah satu-satunya adek kandung bapak saya yang masih ada, maka beliaulah yang membimbing dan masrahke saya ke Kajen. Sikap tawadlu' beliau terlihat pada saat momen dahar bersama kiai-kiai yang lain di ndalem Kiai Sahal Mahfudh. Walau di Lirboyo beliau dihormati oleh ribuan santri, tapi ketika berada dalam kesempatan dahar siang di Kajen, Kiai Habibulloh justru berinisiatif mengambilkan nasi (nanduki) kiai-kiai lain yang berusia lebih lanjut. 

Tawadlu' beliau juga sungguh terlihat saat berada dalam majelis ngaji Kamis Legian yang diselenggarakan oleh pengasuh pesantren Lirboyo untuk para alumni pada tahun-tahun terakhir ini. Kala badan dalam kondisi sehat, Kiai Habibulloh, bersama dengan dzurriyyah yang lain selalu tampak ikut mengaji, menyimak dengan takzim pengajian kitab al Hikam Kamis Legi yang diampu KH Anwar Mansur tersebut. 

Pribadi beliau yang pendiam, akan terlihat berbeda saat "madep dampar", sebuah istilah yang lazim digunakan di Lirboyo untuk aktifitas mengaji Kitab Kuning untuk para santri. Saya teringat saat beliau sempat pulih dari gerah panjangnya. Ketika saya sowan dan bertanya kepada beliau: 

"Pak Abib sampun mulai ngaji malih?"

"Iyo", jawab beliau dengan senyum memenuhi wajahnya. Saat itu saya dapat mengerti, "madep dampar" adalah kebahagian beliau. 

Ketika kecil, dalam kenangan saya, beliau adalah salah satu dzurriyyah Lirboyo yang kuat dalam mbalah kitab. Beliau memiliki kebiasaan ngaji posonan sejak pertengahan bulan Rojab hingga pertengahan bulan Ramadlan, dengan mengkhatamkan satu kitab besar. Di saat sehatnya, jadwal ngaji posonan beliau adalah pagi hingga Dzuhur. Ba'da dzuhur hingga ba'da Ashar. Kemudian Ba'da Tarawih hingga menjelang tengah malam. Suara beliau pun tetap ajeg tiap kali membacakan kitab-kitab tersebut untuk para santri.

Entahlah ... airmata saya selalu bercucuran setiapkali mengingat beliau. Saat ini beliau sedang gerah dan dirawat di sebuah rumah sakit di Surabaya. Banyak kenangan semasa kecil hingga saya dewasa yang memenuhi benak saya. Setelah bapak saya wafat, beliau adalah orang tua saya. Beliau juga yang menjadi salah satu kangenè ati, tiapkali saya pulang kampung ke Lirboyo. 

Banyak uswah dari akhlak mulia beliau yang menjadikan beliau pribadi istimewa. Baik bagi saya pribadi maupun insya Alloh bagi santri-santri Lirboyo. Semoga beliau pinaringan panjang umur, pinaringan kesembuhan dan kesehatan. Alfatihah ... 

Kajen, 10 Februari 2020
Ditulis oleh: Tutik N. Janah binti Thoha Zaini.
https://m.facebook.com/profile.php?id=100008775300697
https://alif.id/read/author/tutik-n-jannah/

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA - SYARAH SAFINATUN NAJA

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA  - SYARAH SAFINATUN NAJA | Pustaka Mampir Karya Syekh Muhammad Nawawi b...