Jumat, 21 Februari 2020

HUKUM MENGKONSUMSI KEPITING

HUKUM MENGKONSUMSI KEPITING

Tidak dapat dipungkiri, kepiting merupakan makanan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Di samping rasanya yang lezat, makanan laut yang satu ini mengandung beragam gizi penting, meliputi: energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B1, dan kolesterol. Selain itu, kepiting juga mengandung asam folat, vitamin B kompleks, mmega-3, serta berbagai mineral. Kepiting dalam fiqih dikenal dengan istilah “al-hayawan al-barma’i", yaitu binatang yang dapat hidup di darat dan di laut, sebagaimana katak, penyu, dan buaya. Karenanya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi binatang yang kaya kolesterol ini. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 4, halaman 2799).

Pertama, ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i menegaskan, mengonsumsi kepiting hukumnya haram, sebab termasuk kategori khaba’its (sesuatu yang menjijikkan).  Ulama mazhab Hanafi mengharamkan kepiting, karena menurut mereka, binatang laut yang halal dikonsumsi hanya ikan semata. Sedangkan binatang lain selain ikan hukumnya haram, walaupun hidup di laut. Imam Ibnu Abidin menerangkan:

 وَمَا عَدَا أَنْوَاعُ السَّمَكِ مِنْ نَحْوِ إِنْسَانِ الْمَاءِ وَخِنْزِيْرِهِ خَبِيْثٌ فَبَقِيَ دَاخِلًا تَحْتَ التَّحْرِيْمِ. وَحَدِيْثُ (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَالْحِلُّ مَيْتَتُهُ) الْمُرَادُ مِنْهُ السَّمَكُ "
Dan selain berbagai macam ikan, seperti manusia laut dan babi laut, adalah menjijikkan dan masuk kategori haram. Sedangkan hadits; (Laut itu suci airnya dan halal bangkainya), maksudnya adalah ikan." (Lihat: Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 6, halaman 307.  Imam At Thahawi dalam kitab Mukhtashar Ikhtilafil Ulama menyebutkan:

 وَلَا يُؤْكَلُ شَيْءٌ مِنْ حَيَوَانِ الْبَحْرِ إِلَّا السَّمَكَ

"Dan binatang laut dalam bentuk apa pun tidak boleh dimakan kecuali ikan." (Lihat: At Thahawi, Mukhtashar Ikhtilafil Ulama, juz 3, halaman 214). Sama dengan mazhab Hanafi, kitab-kitab mazhab Syafi’i pun juga secara tegas menyebutkan keharaman mengonsumsi kepiting. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menuliskan: 
وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ، وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيْحِ الْمَنْصُوْصِ، وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ 

 Syekh Abu Hamid dan Imam al-Haramain memasukkan katak dan kepiting ke dalam kategori binatang yang dapat hidup di dua tempat. Dua binatang tersebut diharamkan menurut pendapat yang shahih dan tercatat dalam mazhab. Dan dengan hukum haram ini, mayoritas ulama mazhab memutuskan. (Lihat: Imam Nawawi, Al-Majmu’, juz 9, halaman 30).  Imam Ad Dumairi berkata:
 يَحْرُمُ أَكْلُهُ لِاسْتِخْبَائِهِ كَالصَّدَفِ، قَالَ الرَّافِعِي : ولِمَا فِيْهِ مِنَ الضَّرَرِ

 "Haram memakan kepiting karena ia selalu menyelinap (bersembunyi) seperti kerang. Imam Rafi’i berkata: Dan karena ia mengandung bahaya. (Lihat: Ad Dumairi, Hayatul Hayawan al-Kubra, juz 1, halaman 391). Kedua, menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanbali, kepiting halal dikonsumsi. Seorang ulama bermazhab Maliki bernama Ibnu Abdil Bar menyebutkan: 
  وَصَيْدُ البَحْرِ كُلُّهُ حَلَالٌ إِلَّا أَنَّ مَالِكاً يَكْرَهُ خِنْزِيْرَ الْمَاءِ لِاسْمِهِ وَكَذَلِكَ كَلْبُ الْمَاءِ عِنْدَهُ وَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ السَّرَطَانِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَالضِّفْدَعِ 

Dan binatang buruan laut semuanya halal, hanya saja imam Malik memakruhkan babi laut karena namanya, begitu pula anjing laut, menurutnya. Dan tidak haram memakan kepiting, penyu, dan katak. (Lihat: Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, juz 1, halaman 187).

Senada dengan ulama mazhab Maliki, para ulama mazhab Hanbali juga menghalalkan kepiting. Ibnu Muflih menuturkan:
    وَعَنْهُ – أَيْ عَنْ أَحْمَدَ - فِي السَّرَطَانِ وَسَائِرِ الْبَحْرِيْ : أَنَّهُ يَحِلُّ بِلَا ذَكَاةٍ؛ لِأَنَّ السَّرَطَانَ لَا دَمَ فِيْهِ 
Dan dari imam Ahmad tentang hukum kepiting dan berbagai binatang laut: Ia halal sekalipun tidak disembelih, sebab kepiting tidak memiliki darah (mengalir). (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, juz 9, halaman 214). Sedangkan dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan:
 كُلُّ مَا يَعِيْشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ كَطَيْرِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَكَلْبِ الْمَاءِ إِلَّا مَا لَا دَمَ فِيْهِ كَالسَّرَطَانِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ 

Setiap apa yang (dapat) hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih. (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, halaman 337) Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hukum kepiting. Dalam fatwa tersebut diputuskan bahwa kepiting halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Fatwa ini didasarkan pada hasil temuan mereka yang menyebutkan bahwa kepiting merupakan binatang air, baik di air laut maupun di air awar, dan bukan binatang yang hidup di dua alam; di laut dan di darat.  Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi kepiting. Ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i mengharamkannya, sementara ulama mazhab Maliki dan Hanbali menghalalkannya. Adapun Majelis Ulama Indonesia juga menghalalkan kepiting.  Artinya, para pembaca yang budiman disuguhi dua pendapat berbeda tentang hukum mengonsumsi kepiting; halal dan haram. Bagi orang yang ingin berhati-hati dalam masalah hukum agama, ia bisa memilih pendapat yang mengharamkannya. Dan baginya, berbagai alternatif makanan lain yang kandungan gizi dan vitaminnya tidak kalah dari kepiting, seperti udang, cumi-cumi dan berbagai ikan laut lainnya. Sedangkan bagi pecinta kepiting, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang menghalalkannya, sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatannya. Wallahu A’lam.     

https://islam.nu.or.id/post/read/104682/ragam-pendapat-ulama-soal-hukum-mengonsumsi-kepiting

Kamis, 13 Februari 2020

MACAM-MACAM TALAK YANG HARUS DIWASPADAI OLEH SUAMI

MACAM-MACAM TALAK YANG HARUS DIWASPADAI OLEH SUAMI

MANUSKRIP TAHLIL BERUSIA LEBIH 200 TAHUN, INI SAKSI TRADISI

MANUSKRIP TAHLIL BERUSIA LEBIH 200 TAHUN, INI SAKSI TRADISI

Biasanya para kiai NU kalau ditanya tahlilan dimulai dari kapan? Mereka akan menjawab "mulai wali songo". Demikian pula ketika ditanya susunan kalimat tahlil itu dari siapa? Mereka menjawab "wali songo". Jawaban tersebut ada benarnya.

“Karena kami telah menemukan manuskrip tahlil dari kitab peninggalan mbah Kiai Haji Moch Ilyas (Penarip Mojokerto) yang berasal dari Kesesi Pekalongan dalam kitab tulisan tangan dari kertas kulit yang usianya lebih dari 200 tahun,” kata Kiai Muhammad Rofi'i Ismail, Mojokerto, Jawa Timur pada akun facebooknya.

Dijelaskannya, tertulis "Ratib kang dilampahake kiai pondok Tegalsari (Ponorogo)" yang berdiri pada 1722 M. Kalimat-kalimatnya persis dengan yang ada sekarang termasuk sholawatnya yang tidak pernah kami temukan dari kitab-kitab Mu'tabaroh (kita yang diakui para ulama untuk dipelajari di Pesantren, red).

“Hanya saja ayat-ayat Al-Qur'an nya lebih banyak 2 kali lipat. Mungkin yang ada sekarang ini adalah ringkasan dan pada akhirnya ada doa untuk arwah. Semoga ini bermanfaat fiddini waddunya wal akhirah,” tuturnya, pada ngopibareng.id, Selasa (23/1/2018).

Kelaziman di Indonesia, sebagaian besar umat Islam mengamalkan tradisi tahlilan. Khususnya, terkait dengan meninggalnya seseorang sebagai doa dari keluarga. Hal itu, terjadi khususnya di Pulau Jawa yang tak lepas dari kebiasaan tahlilan, yang kemudian menjadi tradisi kaum Muslimin di negeri ini. (adi)


AHKAMUL FUQAHA, SOLUSI PROBLEMATIKA AKTUAL HUKUM ISLAM


AHKAMUL FUQAHA, SOLUSI PROBLEMATIKA AKTUAL HUKUM ISLAM

Buku ini merangkum dokumen khusus dan eksklusif dari Bahtsul Masail NU yang telah diputuskan melalui Muktamar, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 2015.

Semua sumber rujukan yang dijadikan daftar pengambilan hukum ditulis dengan huruf Arab bersyakal (masykul) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diberi catatan kaki, sehingga bisa dimengerti secara luas dan mempermudah penelusuran pada sumber aslinya.

Disamping itu, juga ditampilkan dua model daftar isi di halaman depan, daftar isi urut sesuai muktamnar, mulai muktamar pertama muktamar sampai Jombang tahun 2015. Sedangkan di halaman akhir, daftar isinya diklasifikasi seperti bab haji sendiri, bab nikah sendiri dan seterusnya, jadi para pembaca akan lebih mudah dalam mencari kategori masalah yang diinginkan.

“Dari sekian ilmu agama, fiqih dianggap paling penting di lingkungan NU. Sebab, fiqih merupakan petunjuk bagi seluruh perilaku dan penjelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Fiqih merupakan tuntunan praktis mempraktekkan agama dalam berbagai bidang kehidupan, dari soal beribadah hingga berpolitik”, (KH. Miftahul Ahyar, Rois Aam PBNU).

“Keputusan yang dihasilkan NU melalui Muktamar dan Munas ini memiliki kekuatan hukum dan bisa dijadikan rujukan, karena merupakan hasil istimbath jama’i yang memiliki otoritas tertinggi di organisasi Nahdlatul Ulama. Para ulama dalam forum bahtsul masail telah menjadikan kutubul mu’tabarah yang diakui kualitas dan validitasnya sebagai rujukan, sehingga produk yang dihadirkan sangat otoritatif dan layak menjadi rujukan bersama”, (Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU).

Data buku :
Judul : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
Tebal : 1.360 halaman
Ukuran : 16 x 24 cm
Info : https://wa.me/6281325276424

081325276424


Rabu, 12 Februari 2020

HUKUM SHOLAT JUM'AH KURANG DARI 40 ORANG

HUKUM SHOLAT JUM'AH KURANG DARI 40 ORANG 

(مسألة: ج): المذهب عدم صحة الجمعة بمن لم يكمل فيهم العدد، واختار بعض الأصحاب جوازها بأقل من أربعين تقليداً للقائل به، 

Menurut Madzhab Syafi'i tidak sah sholat Jum'at dengan hitungan kurang dari 40 orang. Dan sebagian Ash-habus Syafi'iyyah memilih pada boleh nya sholat Jum'at dengan hitungan kurang dari 40 dengan taqlid pada pendapat yang membolehkannya. Masalah hitungan jama'ah dalam sholat Jum'at itu ulama' berbeda-beda pendapat hingga sampai 25 pendapat.

Namun pendapat yang paling mu'tamad adalah 40. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad yang di ceritakan oleh Awza'i dan Abi Nashir adalah 4 orang sah. Menurut Ibnu Hazm 2 orang cukup seperti jema'ah biasa.. [ Bughyah bab salat jum'at ]. 
-------------------------------------------------------------------

ثم قال الشيخ سالم الحضري في كتابه المذكورة نمرة 21 ان للشافعي رحمهالله تعالى فب العدد الذي تنعقد به الجمعة اربعة اقوال قول معتمد وهو الجديد وهو كونهم اربعين بالشروط المذكورة , وثلاثة اقوال في المذهب القديم ضعيفة احدها اربعة احدهم الامام والثاني ثلاثة احدهم الامام والثالث اثنى عشر احدهم الامام , فعلى العاقل الطالب ما عند الله تعالى من ثوابه ورضاه ان لايترك الجمعة ما نأتي فعلها على واحد من هذه الاقوال الاربعة ولكن اذا لم تعلم الجمعة انها متوفرة فيها الشروط على القول الاول وهو القول الجديد فيسن اعادة الظهر بعدها احتياطا فرارا من خلاف من منعها بدون اربعين اهـ . رسالة الجمعة 
[ Risalah Jum'ah Halaman 5 ] 

Berkata As-syaikh Salim Al-Hudlori dalam kitabnya hal.21 :Dalam Madzhab Syafi’i mengenai jumlah yang menjadi ketentuan sholat Jum’at ada empat Qoul, 
yang mu’tamad adalah Qoul Jadid mengharuskan jumlah jamaah sholat Jum’at 40 orang. 
Tiga Qoul lain adalah Qoul Qodim dan hukumnya dlo’if yaitu : 

- 4 orang salah satunya imam 
- 3 orang salah satunya imam 
- 12 orang salah satunya imam 

Bagi orang ‘Aqil yang mencari ridlo ALLAH hendaknya tidak meninggalkan sholat Jum’at dengan cara menjalankan salah satu dari empat Qoul yang telah disebutkan. Tetapi jika tidak tahu/ yaqin apakah sholat Jum’at nya memenuhi syarat Qoul pertama maka di sunnahkan mengulang sholat Dhuhur, untuk berhati-hati dan menghindar dari dari ulama’ yang melarang sholat Jum’at kurang dari 40 orang.

Dalam Qoul Qodimnya Imam Syafi'i disebutkan boleh shalat jum'at dengan 4 orang saja, dan Qoul Qodim tersebut boleh diikuti/ diamalkan karena Qoul tersebut telah dikuatkan oleh AL ASHHABUS SYAFI'I yaitu Imam Al-Muzaniy, Imam Ibnu Al-Mundzir, dan Imam As Suyuthiy. Fihris Ianah 2/58-59 dan Bughyah Al-Mmustarsyidin halaman 81

قوله أى غير الإمام الشافعي أى باعتبار مذهبه الجديد فلا ينافي أن له قولين قديمين في العدد أيضا أحدهما أقلهم أربعة حكاه عنه صاحب التلخيص وحكاه في شرح المهذب واختاره من أصحابه المزني كما نقله الأذرعي في القوت وكفى به سلفا في ترجيحه فإنه من كبار أصحاب الشافعي ورواة كتبه الجديدة وقد رجحه أيضا أبو بكر بن المنذر في الأشراف كما نقله النووي في شرح المهذب ثاني القولين اثنا عشر وهل يجوز تقليد أحد هذين القولين الجواب نعم فإنه قول للإمام نصره بعض أصحابه ورجحه وقولهم القديم لا يعمل به محله مالم يعضده الأصحاب ويرجحوه وإلا صار راجحا من هذه الحيثية وإن كان مرجوحا من حيث نسبته للإمام وقال السيوطي كثيرا ما يقول أصحابنا بتقليد أبي حنيفة في هذه المسئلة وهو إختياري إذ هو قول للشافعي قام الدليل على رجحانه إه وحينئذ تقليد أحد هذه القولين أولى من تقليد أبي حنيفة فتنبه وقد ألفت رسالة تتعلق بجواز العمل بالقول القديم للإمام الشافعي رضي الله عنه في صحة الجمعة بأربعة وبغير ذلك فانظرها إن شئت. إعانة الطالبين ٢/٥٨-٥٩ 

Dalam kasus di atas menurut imam Al Bulqiniy harus shalat Dhuhur, akan tetapi kalau sholat Jum'at karena taqlid pada Imam yang memperboleh kurang dari 40 orang jga boleh dan lebih baik lagi bila sholat Jum'at kemudian disertai dengan shalat Dhuhur. Bahkan menurut sebagian Ulama, takutlah meninggalkan sholat Jum'at walaupun kurang dari 40 orang karena sholat Jum'at bagian dari rahmat ALLAH dan pelebur dosa dalam seminggu. :

.وسئل البلقيني عن أهل قرية لا يبلغ عددهم أربعين يصلون الجمعة أو الظهر فأجاب رحمه الله يصلون الظهر على مذهب الشافعي وقد أجاز جمع من العلماء أن يصلون الجمعة وهو قوي فإذا قلدوا أى جميعهم من قال هذه المقالة فإنهم يصلون الجمعة وإن احتاطوا فصلوا الجمعة ثم الظهر كان حسنا، والذي يظهر عدم اشتراط تقليد جميعهم إذا كان المقلد بفتح اللام يقول باكتفائه في الجمعة. وقال بعضهم إعلم أن أمر الجمعة عظيم وهي نعمة جسيمة إمتن الله بها على عباده فهي من خصائصنا جعلها الله محط رحمته ومطهرة لأثام الأسبوع ولشدة إعتناء السلف الصالح بها كانوا يبكرون لها على السرج فاحذر أن تتهاون بها مسافرا أومقيما ولو مع دون أربعين بتقليد والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم.إعانة الطالبين ٢/٥٨-٥٩ 

PISS KTB
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

Selasa, 11 Februari 2020

BOLEHKAH MEMASANG KAWAT GIGI?

BOLEHKAH MEMASANG KAWAT GIGI? 

Assalamu’alaikum wr. Wb 
Redaksi Bahtsul Masail NU yang saya hormati. Sekarang ini kita sering mendapati anak-anak muda dan juga remaja memasang behel di gigi. Kalau ditanya, mereka memiliki keperluan bermacam-macam atas pemasangan behel di giginya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. 

Wassalamu’alaikum wr. wb (Ciganjur/M Yunus) 

Jawaban Assalamu’alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt di mana pun berada. Perihal pemasangan behel di gigi untuk sebuah kepentingan tertentu seperti alasan publik pada lazimnya merapikan posisi gigi, sangat baik. Behel sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kawat. Sampai di sini, para ulama tidak berbeda pendapat. Asy-Syaukani menyebutkan sebagai berikut.

 أقول: الأصل الحل كما يفيده قوله عزوجل: {هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ} [البقرة: 29] ، وقوله: {قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ} [الأعراف: 32] ، فلا ينقل عن هذا الأصل المدلول عليه بعموم الكتاب العزيز إلا ما خصه دليل ولم يخص الدليل إلا الأكل والشرب في آنية الذهب والتحلي بالذهب للرجال فالواجب الاقتصار على هذا الناقل وعدم القول بما لا دليل عليه بما هو خلاف الدليل ولم يرد غير هذا فتحريم الاستعمال على العموم قول بلا دليل وما كان ربك نسيا. 

Hemat kami, pada prinsipnya semua itu boleh seperti dikatakan firman Allah “Dia yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk kalian,” (Al-Baqarah ayat 29) dan “Katakan, siapakah orang yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik-baik,” (Al-A’raf ayat 32). 

Belum ada nukilan makna umumnya lafal ayat Al-Quran di atas dari prinsip ini kecuali dalil lain yang membatasinya. Sementara ini tidak ada yang membatasi dalil di atas kecuali hadits yang melarang untuk makan dan minum di wadah terbuat dari emas maupun perak, dan perhiasan emas bagi pria. Karenanya, kita harus membatasi diri pada nukilan di atas; dan tidak perlu berpendapat tanpa dalil yang justru bertentangan dengan dalil yang sudah ada. Sedangkan dalam masalah ini, belum ada dalil lain selain dalil di atas. 

Karenanya, pengharaman terhadap penggunaan perhiasan itu berdasarkan umumnya dalil di atas, merupakan pendapat tanpa dasar. Tuhan sendiri bukan pelupa. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm). Adapun hadits larangan makan dan minum pakai wadah emas dan perak yang dimaksud Asy-Syaukani ialah sebagai berikut.

قَوْله صلى الله عليه وسلم: "لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ اَلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِها، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدنيا، ولكم في الآخرة". متفق عليه 

Jangan kamu minum di wadah emas dan perak. Jangan juga makan di piring yang terbuat daripadanya. Semua itu (emas dan perak) untuk mereka (orang musyrik) di dunia dan untuk kamu di akhirat. (HR Bukhari dan Muslim). 

Lalu bagaimana hukumnya menggunakan emas atau perak sebagai perhiasan? Sampai di sini, para ulama berbeda pendapat. Asy-Syaukani mengambil posisi sebagai berikut.

 وأما قوله: "والتجمل بها" فوجهه أن ذلك مما أحله الله ولم يحرمه كما لم يحرم استعمال الذهب والفضة في غير الأكل والشرب والتحلي بالذهب فالكل حلال طلق أباحه الذي خلقه لعباده لا يسأل عما يفعل وهم يسألون

Adapun “berhias dengan emas” mesti dilihat bahwa itu termasuk yang dibolehkan oleh Allah dan tidak diharamkan. Persis seperti Allah tidak mengharamkan penggunaan emas dan perak untuk selain makan dan minum. Dia tidak mengharamkan berhias dengan emas (untuk kalangan wanita). Semua itu halal dan bebas yang Allah izinkan hamba-Nya untuk menikmati ciptaan-Nya. Dia tidak ditanya atas apa yang diperbuat-Nya. Sementara merekalah yang akan dimintakan pertanggungjawaban. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm). 

Berikut ini pandangan madzhab Hanbali dan Syafi’i perihal emas atau perak yang sudah disepuh.

 وقال الحنابلة مثل الشافعية: يحرم المضبب بضبة كثيرة من الذهب أو الفضة، لحاجة أو غيرها. ولا يباح اليسير من الذهب إلا للضرورة كأنف الذهب وما ربط به الأسنان، ويباح اليسير من الفضة؛ لحاجة الناس إليه

Seperti kalangan Syafi’iyah, madzhab Hanbali berpendapat, haram menggunakan logam campuran emas dan perak di mana keduanya lebih dominan daripada logam jenis lainnya baik untuk suatu hajat dan lainnya. Meskipun sedikit, haram menggunakan emas kecuali karena darurat seperti membuat hidung dari emas dan untuk mengikat gigi. Sedangkan penggunaan sedikit perak diperbolehkan untuk suatu kepentingan. (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, Juz 10). 

Sementara untuk kepentingan perhiasan dari emas, Madzhab Hanbali memberikan rukhshah (keringanan).

 وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلذَّكَرِ أَنْ يَتَّخِذَ قَبِيعَةَ سَيْفِهِ مِنَ الذَّهَبِ؛ لأَِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ لَهُ سَيْفٌ فِيهِ سَبَائِكُ مِنْ ذَهَبٍ، وَأَيْضًا فَإِنَّ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ كَانَ فِي سَيْفِهِ مِسْمَارٌ مِنْ ذَهَبٍ، ذَكَرَهُمَا أَحْمَدُ لِذَا رَخَّصَ فِي ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ لَهُ رِوَايَةٌ أُخْرَى بِتَحْرِيمِ ذَلِكَ مِثْل الْجُمْهُورِ

Madzhab Hanbali berpendapat, boleh bagi kalangan pria untuk membuat gagang pedang dari emas karena Sayyidina Umar bin Khattab memiliki pedang dengan leburan logam emas. Ustman bin Hunaif juga memiliki pedang yang pakunya terbuat dari emas.Riwayat ini disebutkan Imam Ahmad. Karenanya ia memberikan rukhshah pada masalah ini kendati ada sebuah riwayat yang mengharamkannya seperti yang disebutkan jumhur ulama. (Lihat Kementerian Waqaf dan Agama Kuwait, Mausu’atu Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 45, cetakan kementerian agama setempat). 

Sementara salah seorang pemuka Madzhab Hanbali Ibnu Qudamah mengutip riwayat sejumlah salafus saleh yang memakai emas dan jenis logam lainnya untuk kepentingan gigi mereka.

 وروى الأثرم عن أبي جمرة الضبعي وموسى بن طلحة وأبي رافع وثابت البناني واسماعيل بن زيد بن ثابت والمغيرة بن عبد الله أنهم شدوا أسنانهم بالذهب وما عدا ذلك من الذهب 

Al-Atsram meriwayatkan dari Abu Jamroh, Musa bin Thalhah, Abu Rofi’, Tsabit Al-Banani, Ismail bin Zaid bin Tsabit, dan Mughiroh bin Abdullah bahwa mereka menguatkan gigi mereka dengan emas dan logam jenis selain emas. (Lihat Ibnu Qudamah, Asy-Syarhul Kabir alal matnil Muqni’, Darul Kitab Al-Arabi). 

Adapun sebagian orang mengharamkan pengubahan ciptaan Allah berdasarkan surat ar-Rum ayat 30 berikut.

 فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 

Tegakkan wajahmu pada agama yang lurus, sebuah fithrah Allah yang ditetapkannya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama lurus. Tetapi kebanyakan orang tidak tahu. (Ar-Rum ayat 30). 

Menurut hemat kami, pertama penggunaan dalil ini untuk mengharamkan pasang behel, cangkok jantung, menambal (maaf) sumbing, atau cukur rambut misalnya, tidak mengena. Pasalnya “fithrah Allah” yang dimaksud oleh para ulama tafsir, bukan tampilan fisik manusia, tetapi Islam. Allah tidak mengubah Islam setiap anak yang lahir ke dunia. Tetapi orang tua yang mengubah Islam setiap anak menjadi yahudi, Nashrani, atau Majusi. Kedua, pemakaian “La tabdila li khalqillah” (Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu) sebagai dalil pengharaman, mengandung problematik. 

Karena dalil ini tidak bicara secara spesifik sehingga bisa menyasar apa saja. Semacam pasal "karet" yang liar. Dengan dalil ini segala sesuatu bisa jadi haram seperti membuat lemari dari kayu pohon, menambal (maaf) bibir sumbing sejak lahir, dan atau memotong tali pusat bayi. Para pembaca yang budiman, khususnya saudara Yunus, perihal pasang behel/kawat di gigi sejauh ini tidak ada dalil yang mengharamkan. Terlebih lagi kawat yang dipasang di gigi terbuat dari bukan logam emas atau pun perak. Pemasangannya pun berada di bawah pantauan dokter ahli. Sejauh tidak menimbulkan mudharat, pemasangan kawat di gigi untuk kepentingan kerapian gigi misalnya, tidak masalah. 

Demikian jawaban yang dapat kami utarakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi mereka yang ingin memasang kawat di gigi, kami sarankan penanganannya berada di bawah dokter ahli. Untuk meminimalkan kemungkinan mudharat. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq Wassalamu’alaikum wr. Wb (Alhafiz Kurniawan) 

#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama

Senin, 10 Februari 2020

MENGENAL LEBIH DEKAT KH HABIBULLOH ZAINI LIRBOYO: TELADAN KESAHAJAAN DAN PENCINTA ILMU

MENGENAL LEBIH DEKAT KH HABIBULLOH ZAINI LIRBOYO: TELADAN KESAHAJAAN DAN PENCINTA ILMU

KH Habibulloh Zaini Lirboyo. Beliau lahir pada bulan Agustus 1954. Putra kedua dari pasangan KH Zaini Munawwir Krapyak dan Nyai Qomariyah Abdul Karim Lirboyo. Kiai Zaini dan Nyai Qomariyyah memiliki 4 putra. Putra pertama wafat saat masih kecil. Kemudian putra kedua, almarhum H. Thoha Zaini, bapak saya. Putra ketiga adalah KH Habibulloh Zaini, dan putra bungsunya adalah almarhum Hasan Zaini. 

Sejak kecil Kiai Habibulloh belajar di bawah pengampuan orang tua dan para gurunya di Pesantren Lirboyo, Kediri. Setamat dari Lirboyo, beliau melanjutkan nyantri di Pesantren Tanggir, Tuban. Usai nyantri di Pesantren Tanggir, beliau pulang kembali ke Lirboyo, menikah dan melanjutkan pengabdiannya sebagai dzurriyyah Lirboyo, mengajar dan mengasuh santri. 

Kiai Habibulloh beristrikan Nyai Sa'adah dan memiliki 4 orang putra-putri. Saya memanggil keempat sepupu saya itu dengan panggilan Bulek Lia Hikmatul Maula Yasser Lanaa Umuronaa, Lek A. Khuwarizmi Ijtabahu Robbuhu Khuwaarizmiy Ahmad, Bulek Arina Maqsuroh Fil Khiyam Arina M. Filkhiyam, Lek A. Himi Biknada.

Kiai Habibulloh Zaini adalah sosok pecinta ilmu yang bersahaja, tekun dan telaten. Pada masa kepengasuhan Kiai Idris Marzuki, Kiai Habibulloh mendapatkan amanah untuk menjadi kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, Pesantren Lirboyo. Dan saat ini beliau adalah salah satu pengasuh Pesantren tersebut.

Kiai Habibulloh termasuk sosok yang jarang bepergian. Di waktu sehatnya, aktifitas utamanya adalah mengaji dan mengasuh santri. Karena ndalemnya yang berada tepat di depan Masjid Lawang Songo Lirboyo, maka tiap kali ngimami, beliau cukup ke masjid dengan melawati "bancik" yang menghubungkan ndalem beliau dengan masjid Lawang Songo. (Bancik adalah semacam media seukuruan ubin yang digunakan untuk menghubungkan antar bangunan. Bancik banyak ditemui di Pesantren Lirboyo yang terbukti efektif sebagai media yang menghubungkan antara bangunan di area pesantren yang total luasnya lebih dari 5 hektar itu).

*BERSAHAJA DAN MENCINTAI ILMU*
Kiai Habibulloh adalah sosok yang bersahaja dan mencintai ilmu. Kebersahajaan beliau dapat dilihat dari sikap hidupnya sehari-hari. Dari cara berpakaian, cara dahar, cara berkomunikasi dengan orang-orang yang ditemuinya. Beliau juga selalu berhati-hati dalam persoalan fiqh, akhlak dan serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Kesederhanaan dan akhlak beliau sungguh tampak saat berdekatan dengan beliau. Ketawadluan beliau juga akan dapat terlihat dari melihat sikap tubuh beliau kala beliau berada satu majelis dengan kiai-kiai yang lain. 

Saya teringat saat beliau mengantar saya ke Kajen, ketika saya menikah. Waktu itu, bapak saya sudah wafat. Karena beliau adalah satu-satunya adek kandung bapak saya yang masih ada, maka beliaulah yang membimbing dan masrahke saya ke Kajen. Sikap tawadlu' beliau terlihat pada saat momen dahar bersama kiai-kiai yang lain di ndalem Kiai Sahal Mahfudh. Walau di Lirboyo beliau dihormati oleh ribuan santri, tapi ketika berada dalam kesempatan dahar siang di Kajen, Kiai Habibulloh justru berinisiatif mengambilkan nasi (nanduki) kiai-kiai lain yang berusia lebih lanjut. 

Tawadlu' beliau juga sungguh terlihat saat berada dalam majelis ngaji Kamis Legian yang diselenggarakan oleh pengasuh pesantren Lirboyo untuk para alumni pada tahun-tahun terakhir ini. Kala badan dalam kondisi sehat, Kiai Habibulloh, bersama dengan dzurriyyah yang lain selalu tampak ikut mengaji, menyimak dengan takzim pengajian kitab al Hikam Kamis Legi yang diampu KH Anwar Mansur tersebut. 

Pribadi beliau yang pendiam, akan terlihat berbeda saat "madep dampar", sebuah istilah yang lazim digunakan di Lirboyo untuk aktifitas mengaji Kitab Kuning untuk para santri. Saya teringat saat beliau sempat pulih dari gerah panjangnya. Ketika saya sowan dan bertanya kepada beliau: 

"Pak Abib sampun mulai ngaji malih?"

"Iyo", jawab beliau dengan senyum memenuhi wajahnya. Saat itu saya dapat mengerti, "madep dampar" adalah kebahagian beliau. 

Ketika kecil, dalam kenangan saya, beliau adalah salah satu dzurriyyah Lirboyo yang kuat dalam mbalah kitab. Beliau memiliki kebiasaan ngaji posonan sejak pertengahan bulan Rojab hingga pertengahan bulan Ramadlan, dengan mengkhatamkan satu kitab besar. Di saat sehatnya, jadwal ngaji posonan beliau adalah pagi hingga Dzuhur. Ba'da dzuhur hingga ba'da Ashar. Kemudian Ba'da Tarawih hingga menjelang tengah malam. Suara beliau pun tetap ajeg tiap kali membacakan kitab-kitab tersebut untuk para santri.

Entahlah ... airmata saya selalu bercucuran setiapkali mengingat beliau. Saat ini beliau sedang gerah dan dirawat di sebuah rumah sakit di Surabaya. Banyak kenangan semasa kecil hingga saya dewasa yang memenuhi benak saya. Setelah bapak saya wafat, beliau adalah orang tua saya. Beliau juga yang menjadi salah satu kangenè ati, tiapkali saya pulang kampung ke Lirboyo. 

Banyak uswah dari akhlak mulia beliau yang menjadikan beliau pribadi istimewa. Baik bagi saya pribadi maupun insya Alloh bagi santri-santri Lirboyo. Semoga beliau pinaringan panjang umur, pinaringan kesembuhan dan kesehatan. Alfatihah ... 

Kajen, 10 Februari 2020
Ditulis oleh: Tutik N. Janah binti Thoha Zaini.
https://m.facebook.com/profile.php?id=100008775300697
https://alif.id/read/author/tutik-n-jannah/

Minggu, 09 Februari 2020

PENGANTAR STUDI ASWAJA AN-NAHDLIYAH

PENGANTAR STUDI ASWAJA AN-NAHDLIYAH

Description

Kode Produk : pn-1122
No. ISBN : 978-602-6610-16-4
Penulis : Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM., dkk.
Penerbit : LKiS
Tanggal Terbit : 2017
Jumlah Halaman : 390
Berat Buku : 1.00 kg
Kategori : Kajian Keislaman

Sinopsis :
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah “Ahlu minhaj al-fikri ad-dînî al-musytamil ‘ala syu’ûn al-hayâti wa muqtadhayâtihâ al-qâ’imi ‘ala asas at-tawâssuth wa at-tawâzûn wa at-ta’âddul wa at-tasâmûh” (Orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi). 

Dari segi ini, prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Aswaja adalah tawâsuth, tawâzun, ta’adul, dan tasâmuh; moderat, seimbang dan netral, serta toleran. Keberadaan jam’iyah NU patut kita syukuri sebagai rumah (wadah) bagi umat Islam untuk melaksanakan dan mempertahankan tradisi-tradisi amaliah Aswaja yang telah berlaku sejak zaman Nabi SAW, ulama salaf, dan ditumbungkembangkan di Nusantara oleh Walisongo dan kiai-kiai pesantren hingga saat ini. 

Sebagai jam’iyyah diniyyah Islâmiyyah ijtimâ’iyyah, NU bertujuan untuk melestarikan berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Aswaja bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat, dan demi terciptanya rahmat bagi semesta. 

Tradisi-tradisi dan amaliah Aswaja-NU inilah yang wajib terus kita bela dan pertahankan demi keberlangsungan ajaran Aswaja An-Nahdliyah di Nusantara. 

Buku ini menjadi bacaan wajib bagi kaum muda dan tua, mahasiswa dan dosen, dan masyarakat umum, untuk mengenal, memahami, mengamalkan, dan mempertahankan marwah keberagamaan Islam kita ala thariqati ahlissunnah wal jama’ah an-nahdliyah.

Pemesanan silahkan langsung chat ke
https://wa.me/6281325276424

#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

Sabtu, 08 Februari 2020

FATH AL-RAHMAN, KITAB PENCARI SURAH DAN NOMOR AYAT DALAM AL-QUR'AN KARYA IMAM FAIDHULLAH BIN MUSA AL HASANI

FATH AL-RAHMAN, KITAB PENCARI SURAH DAN NOMOR AYAT DALAM AL-QUR'AN KARYA IMAM FAIDHULLAH BIN MUSA AL HASANI 

Kitab ini tidak begitu populer di dunia pesantren karena tidak berkaitan dengan masalah kehidupan umat Islam.

Ada seorang santri bertanya kepada seorang ustadz di salah satu pesantren. Dia bertanya tentang ayat yang membahas puasa. Kendati secara rutin bergelut dengan bidang agama dan banyaknya pelajaran yang harus dihafal, ia pun lupa akan ayat yang membahas puasa.

"Ustadz, ayat yang membahas puasa itu surah apa dan ayat berapa, ya?'' tanya santri.

Sang ustadz, bukannya menjawab nama surah dan ayatnya, malah ikut-ikut lupa nomor ayat dan surahnya.

 ''Ayat yang membahas puasa itu berbunyi, 
''Ya Ayyuhalladzina Amanu kutiba 'alaikumush shiyamu kama kutiba 'alal ladzina min qablikum la'allakum tattaqun ,'' jelas ustadz.

Karena tak sesuai dengan yang ditanyakan, sang santri bertanya lagi. 

''Bukan bunyinya, ustadz, yang saya inginkan. Kira-kira, ayat tersebut terdapat dalam surah apa dan ayat berapa?'' tanya santri. Karena benar-benar lupa, sang ustadz pun tidak bisa memberikan jawaban yang spesifik.

Gambaran di atas merupakan contoh nyata yang sering kali dialami umat Islam ketika diminta untuk menunjukkan nama surah dan nomor ayat yang membahas satu topik permasalahan.

Bukan hanya yang berkaitan dengan puasa, banyak santri yang juga tidak hafal nomor ayat atau surah yang membahas waris ( faraidl ), zakat, shalat, larangan minum  khamar , zina, poligami, dan lain sebagainya. Sebagian di antara mereka hafal bunyi ayatnya, namun tidak ingat nama surah atau nomor ayat yang membahas hal tersebut.

Tak hanya santri; para dai, ulama, mubaligh, dan umat Islam secara keseluruhan sering kali lupa ketika menghafal satu ayat dalam Alquran tentang surah dan nomor ayatnya. Memang, sebagian mereka menganggap tidak terlalu penting surah dan nomor ayat, yang terpenting bagi mereka adalah hafal bunyi ayatnya. Karena itu, tak heran bila banyak ulama, dai, atau penceramah yang pandai mengucapkan bunyi ayat Alquran, namun tidak disertai dengan penyebutan nama surah dan nomor ayatnya.

Hal yang sama juga sering terjadi ketika banyak ulama, dai, dan mubaligh menyampaikan sebuah hadis. Mereka hanya menyebutkan bunyi hadis secara lengkap yang disertai pula dengan terjemahannya. Namun, sang dai, mubaligh, atau ulama tidak menyampaikan hadis itu riwayat siapa, terdapat dalam kitab apa, juz berapa, dan berapa nomor hadis tersebut. Bagaimana kualitasnya, sahih atau tidak, sering kali terabaikan. Akibatnya, para pendengar dan sebagian besar umat Islam pun hanya mendapatkan bunyi dan tidak tahu sumbernya dari mana.

Berkenaan dengan hal ini, kitab  Fath al-Rahman layak dijadikan pegangan bagi para santri, dai, mubaligh, ulama, kiai, dan tokoh agama untuk mencari sumber ayat dan surah yang berkaitan dengan topik yang dibahas.

Harus diakui, kitab  Fath al-Rahman ini memang tidak terlalu populer di kalangan umat, termasuk santri yang sehari-harinya berkutat dengan ilmu keagamaan. Jangankan santri; pengasuh pondok pesantren, dai, ataupun mubaligh tidak banyak yang menguasai kitab ini. Sebab, isinya memang tidak membahas topik tertentu dari ilmu-ilmu Islam, seperti tauhid (akidah), akhlak, tafsir, hadis, tasawuf, dan lainnya. Kitab ini justru mengulas kata-kata tertentu, nomor ayat, dan surah dalam Alquran. Kitab yang berjudul  Fath al-Rahman Li thalib Ayat al-Qur`an ini secara khusus membahas cara mencari ayat Alquran.

Tidak populer

Di dunia pesantren pun, kitab ini tak banyak dibahas. Hanya beberapa santri yang menaruh perhatian pada kitab ini. Karena itu pula, kitab ini tidak diajarkan kepada seluruh santri. Sebab, tak ada aturan khusus atau kewajiban bagi santri untuk belajar kitab ini.

Santri yang tidak paham atau menguasai kitab ini tidak akan diberi sanksi apalagi sampai tidak diluluskan. Kitab ini hanyalah sebagai materi tambahan ilmu bagi santri. Namun demikian, tidak ada salahnya bila sebagian santri menguasai atau memahami isinya. Sebab, mereka yang memahami isi kitab ini akan mudah melacak atau mencari nama surah dan nomor ayat yang membahas topik tertentu.

Berkaitan dengan kondisi ini; banyak santri, dai, kiai, ulama, mubaligh, dan ustadz yang berceramah hanya menyampaikan bunyi ayat atau hadis dan tidak menyertakan sumbernya (dalam arti tidak menyampaikan nama surah dan nomor ayat). 

Karena itu, demi meningkatkan kualitas umat, ada baiknya para penyeru dakwah Islam ini juga menyampaikan dalil-dalil yang disertai dengan penyebutan nama surah dan nomor ayat atau kualitas hadis berdasarkan riwayat perawinya. Sehingga, umat akan terbiasa dan mudah mencari atau melacak kembali bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

Semestinya, masalah ini menjadi perhatian serius dari Departemen Agama (Depag), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), atau pengelola sekolah Islam untuk memasukkan materi ini dalam kurikulum resmi di sekolah. Sehingga, ayat dan surah yang disampaikan para pengajar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dan, santri atau umat Islam pun akan berusaha untuk membuktikan ucapan atau materi yang disampaikan itu dengan mencari dari sumber aslinya.

Melacak Surah dan Nomor Ayat

Kitab  Fath al-Rahman adalah kitab yang membahas cara mencari surah dan ayat secara lengkap dalam Al-Qur'an. Dengan memahami kitab ini, seseorang akan mudah melacak surah dan nomor ayat Al-Qur'an kendati yang bersangkutan hanya hafal sebagian dari bunyi ayat tersebut. Kitab  Fath al-Rahman ini bagaikan indeks Al-Qur'an atau kamus Al-Qur'an. Bedanya, bila kamus disertai dengan penjelasan makna ayat, kitab ini hanya kata dasarnya, lalu dilanjutkan dengan bunyi ayatnya.

Namun demikian, tidaklah mudah melakukan pencarian ayat Al-Qur'an dengan kitab ini. Sebab, mereka yang tidak menguasai ilmu  sharaf (khususnya) akan kesulitan dalam mencari ayat yang diinginkan. Apalagi, kitab ini ditulis dengan bahasa Arab 'gundul' (tanpa harakat).

Kata dasar

Selain itu, mereka yang belum terbiasa atau belum pernah belajar kitab ini mungkin akan terasa sulit memahaminya. Sebab, di dalamnya hanya terdapat tulisan kata per kata dan beberapa singkatan nama surah. Kesulitan yang pasti didapatkan adalah bila seseorang tidak paham kata dasar dalam bahasa Arab. Misalnya, kata  al-shiyam (puasa), seorang pelajar harus memahami terlebih dahulu kata dasar dari  al-shiyam . Apa kata dasarnya, baru kemudian kalimat yang diinginkan.

Kata  al-shiyam dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak dua kali, masing-masing dalam surah Albaqarah ayat 183 dan 185. Sedangkan, kata  shiyam atau  shiyaman disebutkan sebanyak empat kali. Masing-masing dalam surah Albaqarah ayat 196, Annisa ayat 91, serta Almaidah ayat 92 dan 96. Sedangkan, kata  shiyam adalah bentuk jamak dari mashdar  shawmun (shawm/shaum ).

Karena itu, untuk mencari kata  al-shiyam , seseorang harus paham terlebih dahulu kata dasar  al-Shiyam . Setelah tahu kata dasarnya, akan mudah pula melacak kalimat atau kata  al-shiyam .Demikian pula dengan kata  raaji'uun (dimulai dari huruf ra, alif, jim, ain, wawu, dan nun), asal katanya adalah  raja'a (huruf ra, jim, dan ain). Kata  raaji'uun ditulis sebanyak empat kali dalam Al-Qur'an. Masing-masing pada surah Albaqarah ayat 46 dan 156, Al-Anbiya ayat 93, dan surah Almu'minun ayat 61.

Misalnya, ketika ingin mencari kata yang berkaitan dengan menikahi wanita lebih dari satu orang (poligami), seorang pelajar atau pembaca kitab ini minimal mengetahui terlebih dahulu kata dasar yang diinginkan. Karena, ayat ini berkaitan dengan kata 'nikah', maka yang bersangkutan harus mencarinya pada kata  nakaha .

Selanjutnya, harus dilacak kata  ankihuu (alif, nun, kaf, ha, wawu, dan alif). Karena ayat yang berkaitan dengan kata 'menikah' lebih dari seorang ini dimulai dengan awalan huruf fa, kalimat yang dicari adalah kata  fankihuu (maka menikahilah kamu sekalian). Bila tepat, kata tersebut akan dapat ditemukan pada surah Annisa ayat 3.

Adapun bunyinya adalah  wa in khiftun alla tuqsithuu fi al-yatama fankihuu maa thaaba lakum min an-Nisa`i matsna wa tsulatsa wa ruba`. Fa inkhiftum alla ta'diluu fawaahidatan aw maa malakat aymanukum. Dzaalika adna alla ta'uuluu .Selain dari kata dasar  nakaha tadi, ayat tersebut juga bisa dilacak dengan menggunakan kata dasar lainnya. Misalnya, kata  qasatha (qaf, sin, dan tha`). Dari kata dasar tersebut, bunyi yang sama dengan ayat dimaksud adalah  tuqsithuu .

Pada kitab  Fath al-Rahman ini, kata  tuqsithuu terdapat dalam tiga ayat pada tiga surah yang berbeda. Masing-masing pada surah Annisa ayat 3, surah Almumtahanah ayat 8, dan Alhujurat ayat 9. Secara khusus, yang berkaitan dengan masalah menikah lebih dari seorang itu hanya terdapat pada surah Annisa ayat 3. Demikianlah cari-mencari ayat atau surah dalam Alquran berdasarkan kitab  Fath al-Rahman .

Singkatan

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan pula dalam menggunakan kitab ini adalah mengetahui daftar singkatan surah. Dalam kitab ini, sudah ditulis daftar singkatan surah. Namun, bagi yang tidak hafal dapat mencarinya pada cara atau petunjuk penggunaan daftar singkatan surah pada halaman awal kitab  Fath al-Rahman .

Misalnya, surah Albaqarah disingkat dengan huruf ba dan qaf; surah Al-Anbiya ditulis dengan singkat huruf alif dan nun; Annas disingkat dengan huruf nun, alif, dan sin; serta Alhujurat disingkat dengan huruf ra, alif, dan ta. 
Demikianlah cara mempelajarinya.

Walaupun kitab ini tidak dianggap penting bagi sebagian orang karena tidak membahas materi-materi tauhid, fikih, tasawuf, atau lainnya; kitab ini sangat penting untuk dimiliki setiap dai, mubalig, kiai, ustadz, atau pengajar di perguruan tinggi Islam.

Sebab, kitab ini akan membantu umat Islam untuk melacak atau mencari kata, kalimat, surah, atau nomor ayat yang dibahas dalam Al-Qur'an. Apalagi, ketika seseorang hafal satu ayat atau sebagian dari ayat Al-Qur'an, namun untuk mencari nama surah dan nomor ayatnya, tidaklah mudah. Insya Allah, dengan tuntunan dari kitab  Fath al-Rahman ini, ayat yang dicari akan terlacak dengan mudah.  

Wallahu A'lam...
Sya/Republika
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

In frame:Sayyid Umar Hafidz Bin Soleh Bin Ali Bin Hasan Al Attas memegang Kitab Fathul Rahman Litholibil Ayatil Qur'an hadiah dari GUS BAHA'

HUKUM MENGEDARKAN KOTAK AMAL SAAT KHUTBAH BERLANGSUNG

HUKUM MENGEDARKAN KOTAK AMAL SAAT KHUTBAH BERLANGSUNG

Tradisi di masyarakat, saat khutbah berlangsung, kotak amal masjid diedarkan dari satu jamaah ke yang lain, untuk mempersilakan masing-masing menyumbang di kotak tersebut. Bagaimana hukumnya menurut pandangan fiqih? Anjuran saat khutbah berlangsung adalah diam mendengarkan khutbah dengan seksama. Anjuran ini berdasarkan firman ALLAH

 ﷻ: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ 

“Dan apabila dibacakan khutbah, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf, 204). 

Kata “al-Qur’an” dalam ayat tersebut ditafsiri dengan khutbah. Penamaan khutbah dengan sebutan Al-Quran, karena di dalam khutbah mengandung ayat suci Al-Qur’an. Syekh Zakariyya al-Anshari mengatakan:

 و سن لمن سمعهما انصات فيهما أي سكوت مع إصغاء لهما لقوله تعالى وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا  ذكر في التفسير أنها نزلت في الخطبة وسميت قرآنا لاشتمالها عليه

 “Orang yang mendengar kedua khutbah disunnahkan inshât, yaitu diam disertai mendengarkan secara seksama bacaan khutbah, karena firman Allah ﷻ, ‘Dan apabila dibacakan khutbah, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah.’ Disebutkan dalam tafsir bahwa ayat tersebut turun dalam permasalahan khutbah. Khutbah disebut dengan Al-Qur’an karena khutbah mengandung ayat suci Al-Qur’an.” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz.1, hal.134). 

Oleh karenanya, Nabi melarang berbicara saat khutbah berlangsung. Dalam sabdanya, beliau menegaskan:

 إذَا قُلْت لِصَاحِبِك أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

 “Jika kamu katakan kepada temanmu, diamlah, di hari Jumat saat khatib berkhutbah, maka kamu telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna).” (HR. Muslim). 

Dalam literatur fiqh mazhab Syafi’i, hukumnya makruh berbicara atau mengobrol saat khutbah berlangsung. Demikian pula makruh dilakukan saat khutbah berlangsung, segala kegiatan yang dapat melalaikan dari khutbah, seperti membagikan kertas, membagikan sedekah, bermain-main, mengedarkan kendi dan botol untuk berbagi minuman dan lain sebagainya. Dalam titik ini, mengedarkan kotak amal tergolong hal yang dimakruhkan ini, sebab memiliki titik temu yang berupa melalaikan diri dari khutbah. Syekh Sulaiman al-Jamal mengatakan:

 ويكره المشي بين الصفوف للسؤال ودوران الإبريق والقرب لسقي الماء وتفرقة الأوراق والتصدق عليهم ؛ لأنه يلهي الناس عن الذكر واستماع الخطبة ا هـ . برماوي

 
“Makruh berjalan di antara shaf untuk meminta-minta, mengedarkan kendi atau geriba untuk memberi minuman, membagikan kertas dan bersedekah kepada jamaah, sebab hal tersebut dapat melalaikan manusia dari zikir dan mendengarkan khutbah.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 2, hal. 36). 

Namun demikian, bila mengedarkan kotak amal tersebut bertujuan untuk menghindari gunjingan dan stigma negatif di masyarakat, maka hal tersebut diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Sebagaimana tradisi selametan 3 hari kematian mayit yang semula hukumnya makruh, namun bila ada tujuan menghindari gunjingan masyarakat, maka diperbolehkan, bahkan sangat diharapkan mendapat pahala karena tujuan mulia tersebut. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:

 جميع ما يفعل مما ذكر في السؤال من البدع المذمومة لكن لا حرمة فيه إلا إن فعل شيء منه لنحو نائحة أو رثاء ومن قصد بفعل شيء منه دفع ألسنة الجهال وخوضهم في عرضه بسبب الترك يرجى أن يكتب له ثواب ذلك أخذا من أمره صلى الله عليه وسلم من أحدث في الصلاة بوضع يده على أنفه وعللوه بصون عرضه عن خوض الناس فيه لو انصرف على غير هذه الكيفية 

“Segala tradisi yang disebutkan dalam pertanyaan di atas (termasuk selametan 3 hari kematian mayit) termasuk bid’ah yang tercela, namun tidak haram, kecuali melakukannya dengan tujuan meratapi kepergian mayit. Orang yang melakukan tradisi tersebut dengan tujuan menolak gunjingan masyarakat dan serangan mereka terhadap harga dirinya disebabkan meninggalkan tradisi tersebut, maka diharapkan mendapatkan pahala. 

Hal tersebut berlandaskan pada perintah Nabi untuk memegang hidung bagi orang yang berhadats di tengah shalat. Ulama memberikan alasan yang rasional, bahwa hal tersebut dilakukan untuk menjaga harga dirinya dari cercaan manusia apabila ia beranjak dari shalat tidak menggunakan cara memegang hidung tersebut.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2, hal. 7). Syekh Said bin Muhammad Ba’isyun menegaskan:

 ويسن لمن أحدث في صلاته أو قبلها قرب إقامتها أن يأخذ بأنفه ولينصرف سترا على نفسه ولئلا يحوض الناس فيه ويؤخذ منه أنه يسن ستر كل ما يوقع الناس فيه كما لو نام عن صلاة الصبح فتوضأ بعد طلوع الشمس فيوهم أنه يصلي الضحى 

“Sunnah bagi orang yang berhadats saat atau sesaat sebelum shalat didirikan, memegang hidungnya, dan hendaknya ia beranjak dari tempat shalat, untuk menutupi dirinya dan agar manusia tidak membincangkan aibnya. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa disunnahkan menutupi setiap hal yang dapat mendorong gunjingan manusia, seperti saat tertidur meninggalkan shalat subuh, maka hendaknya ia berwudlu setelah terbitnya matahari, agar ia diduga menjalankan shalat dluha.” (Syekh Said bin Muhammad Ba’isyun, Busyra al-Karim, juz 1, hal. 194). 

Walhasil, mengedarkan kotak amal saat khutbah berlangsung sebaiknya dihindari, tapi apabila tradisi tersebut tidak dilakukan justru akan menimbulkan stigma negatif atau gunjingan dari orang lain, maka hukumnya boleh bahkan dianjurkan dengan tujuan menghindari anggapan negatif tersebut. Bagaimanapun pengurus masjid seyogianya mencari momen lebih pas di luar saat-saat khutbah, misalnya sesaat sebelum adzan, sebelum khutbah, atau sesudah salam shalat Jumat bila memungkinkan.

 Demikianlah, semoga bermanfaat. 
(M. Mubasysyarum Bih) 
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/95582/hukum-mengedarkan-kotak-amal-saat-khutbah-berlangsung

KIAI BISRI "SYANSURI" DARI PATI ATAU JOMBANG??

KIAI BISRI "SYANSURI" DARI PATI ATAU JOMBANG??

Nama "Syansuri" cukup terkenal di Jawa, terutama di kalangan santri nahdliyyin. Salah seorang tokoh yang memiliki nama ini adalah kakek Gus Dur dari pihak ibu, yaitu Kiai Bisri Syansuri (w. 1980), seorang ulama besar yang pernah menjabat sebagai Rois Aam Nahdlatul Ulama sepeninggal Kiai Abdul Wahab Chasbullah (w. 1972).

Kiai lain yang menggunakan nama ini adalah Kiai Syansuri Badawi, salah satu murid "kinasih" Mbah Hasyim Asy'ari yang kemudian meneruskan tradisi "ngaji" Bukhari-Muslim di Pondok Tebuireng selama bertahun-tahun. Sekedar informasi, salah satu pengajian andalan Mbah Hasyim ketika masih "sugeng" dulu adalah ngaji kitab Bukhari-Muslim, dua kitab koleksi hadis yang paling otoritatif dalam Islam. Salah satu murid Kiai Syansuri Badawi yang mungkin banyak dikenal publik adalah Kiai Ali Mustafa Yaqub, kiai asal Batang (Jawa Tengah) yang pernah menjabat sebagai imam besar Masjid Istiqlal.

Dalam tulisan pendek ini, saya mau mengulas mengenai nama "Syansuri" ini. Saya juga akan membahas sedikit mengenai sosok Kiai Bisri Syansuri. 

Kiai Bisri Syansuri berasa dari Tayu, Pati, Jawa Tengah. Beliau pernah belajar kepada sejumlah kiai, antara lain Kiai Abdussalam Kajen (ayahanda Kiai Abdullah Salam alias Mbah Dullah, paman dari Kiai Sahal Mahfudz). Beliau juga pernah belajar kepada Hadratusysyaikh Hasyim Asy'ari (kakek Gus Dur dari pihak bapak). Guru-guru Kiai Bisri yang lain meliputi: Kiai Syua'ib Sarang (Rembang), Kiai Khalil Kasingan (Rembang), dan Syaikhana Khalil Bangkalan (Madura). 

Bersama Kiai Abdul Wahab Chabullah (salah satu pendiri NU), Kiai Bisri pernah belajar di Mekah, dan berguru, antara lain, kepada Syekh Mahfudz Termas yang masyhur itu. Setelah pulang ke tanah air (kira-kira pada 1913, setahun setelah Muhammadiyah berdiri), Kiai Bisri mendirikan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. Beliau wafat pada 1980, dan kedudukannya sebagai Rois Aam PBNU digantikan oleh Kiai Ali Ma'sum Krapyak, Yogyakarta. 

Yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah nama "Syansuri" itu. Ini jelas bukan nama Jawa. Saya sudah menduga, ini adalah nama sebuah kota atau tempat di negeri Arab. Ada sebuah praktek yang lazim di kalangan santri Jawa:  yaitu memakai istilah yang berasal dari nama sebuah negara atau tempat di kawasan Arab atau Persia sebagai nama untuk anak-anak mereka. 

Contoh yang paling populer adalah "Syirazi". Nama ini banyak sekali dipakai oleh keluarga Muslim di Indonesia, terutama Jawa. Nama "Syirazi" sebenarnya berasal dari kata "Syiraz", yaitu nama sebuah kota di Iran bagian selatan.

Dalam catatan ini, saya mau menelaah kata "Syansuri" dalam nama Kiai Bisri Syansyuri itu. "Syansuri" (ada yang membacanya: Syinsyauri) adalah nama ayahanda Kiai Bisri. Sama dengan kasus "Syirazi", nama ini berasal dari kata "Syansur", sebuah daerah di kawasan provinsi Manufia di Mesir (dari daerah ini juga lahir nama seorang ulama yang amat populer di kalangan pesantren, yaitu Imam Ibrahim al-Bajuri [w. 1276 H/1859 M], pengarang Hasyiyah al-Bajuri yang terkenal dan kerap dijadikan rujukan dalam "bahtsul masa'il" di NU).

Yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimana orang-orang Muslim di Jawa dulu mengenal kata "Syansur", lalu menamai anak-anak mereka dengan nama "Syansuri" ini? Sebagian orang ada yang menggunakan nama "Samsuri", atau "Syamsuri". Keduanya adalah versi lain dari nama "Syansuri". Sangatlah mustahil mereka mengenal nama ini melalui televisi, koran, atau radio, sebab jenis-jenis teknologi itu belum dikenal luas oleh keluarga nahdliyyin di pedusunan Jawa saat mereka mulai mengadopsi nama itu kira-kira pada awal abad ke-19.

Lalu dari mana mereka mengenal nama "Syansur/i"? Jawabannya adalah melalui para ulama dari kawasan Arab yang menyandang nama tersebut. Ada banyak ulama yang menggunakan nama ini, salah satunya (yang saya duga paling mungkin menjadi asal-usul populernya nama "Syansuri" di Jawa) adalah Imam Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-Jam'i al-Syansuri, seorang ulama yang dikenal sebagai pakar di bidang ilmu faraid (ilmu pembagian waris dalam Islam). Selain itu, ia juga menjabat sebagai khatib resmi di masjid Universitas al-Azhar pada zamannya, dan karena itulah ia dikenal pula dengan "jejuluk" atau laqab "al-Jam'i". Ia wafat pada 999 H/1591 M. 

Ulama ini dikenal di Jawa melalui syarah atau komentarnya atas sebuah risalah pendek yang amat populer di seluruh dunia Islam; nama risalah ini adalah "al-Mandzumah al-Rahabiyyah". Ini adalah risalah pengantar kepada pembahasan ilmu faraid karya Ibn al-Mutafanninah (ada yang menyebutnya: Ibn al-Mutqinah), seorang ulama asal Syria yang hidup pada abad ke-12 (setelah generasi Imam Ghazali). 

Para santri di seluruh dunia Islam yang hendak belajar ilmu faraid, hampir bisa dipastikan akan memulainya dengan "ngaji" risalah pendek ini. Kita bisa menyebut risalah ini sebagai "Jurumiyah"-nya ilmu faraid. Saya dulu "ngaji" kitab ini kepada almarhum Kiai Ahmad Rifai Nasuha dari Kajen, Pati. Kiai Rifai dikenal di daerah saya sebagai pakar ilmu faraid yang amat handal. Beliau hafal di luar kepala "al-Mandzumah al-Rahabiyyah" (terdiri dari 170an bait) ini, dan selalu mengajar tanpa menggunakan kitab. 

Salah satu bait dalam risalah ini, dan masih saya ingat adalah sbb.: 

وأنَّ هٰذا العلمَ مخْصُوصٌ بما #
قد شاع فيه عنْدَ كلِّ العُلما
بأنه أولُ علمٍ يُفْقَدُ #
فى الأرض حتَّى لا يكادُ يوجَدُ

Bait ini menegaskan bahwa faraid adalah ilmu yang pertama hilang dari peredaran, dan jarang dipelajari oleh umat Islam. Penegasan ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Ibn Majah (w. 273 H/886 M) yang memuat semacam prediksi Kanjeng Nabi: bahwa faraid adalah ilmu yang pertama kali "diangkat" dari muka bumi (أوَّلُ عِلْمٍ يُرْفَع). 

Kiai Bisri Syansuri bisa dipastikan pernah mempelajari risalah ini beserta syarahnya. Sangat mungkin bahwa beliau mempelajari kitab itu dari Syekh Mahfudz Termas di Mekah, selain dari guru-gurunya yang lain sewaktu masih "nyantri" di Jawa. 

Sementara itu, "Syansuri" adalah nama ayah Kiai Bisri yang hidup kira-kira di paruh pertama ada ke-19. Data ini, bagi saya, bisa menjadi dasar untuk menduga bahwa pada waktu itu (yakni paruh pertama abad ke19), atau malah sebelumnya, syarah atas "al-Mandzumah al-Rahabiyyah" karya Imam Abdullah bin Muhammad al-Syansuri sudah dikenal dan dipelajari oleh ulama di Jawa. Melalui syarah inilah para santri Jawa pelan-pelan mulai mengenal nama "Syansuri" dan mengadopsinya sebagai nama bagi putera-putera mereka.

Yang menarik, nama "Syansuri" tak lagi populer sekarang, dan tampaknya mulai jarang dipakai oleh keluarga nahdliyyin (sepengetahuan saya; mungkin saja saya keliru). Apakah ini menandakan bahwa syarah Imam al-Syansuri atas nadzam al-Rahabiyyah tersebut sudah jarang dipelajari? Atau lebih jauh lagi, apakah ini juga menandakan bahwa popularitas ilmu faraid sudah mulai merosot, sekaligus meng-konfirmasi prediksi Kanjeng Nabi dalam hadis riwayat Ibn Majah itu? Atau mungkin nama ini sudah tak dianggap keren lagi? Wallahu a'lam. 

Sekian.

------------
Keterangan gambar:

(1). Mbah Bisri Syansuri.
(2). Nadzam al-Rahabiyyah yang diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh J.-D. Luciani dan terbit di Al-Jazair pada 1896, berjudul "Petit Traité des Successions Musulmanes" (Risalah pendek tentang kewarisan Muslim).

Source:Laman FB Gus Ulil Absar Abdalla
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

SYEKH YUSUF TAJUL KHALWATI,ULAMA YANG SUFI SEKALIGUS PANGLIMA PERANG

SYEKH YUSUF TAJUL KHALWATI,ULAMA YANG SUFI SEKALIGUS PANGLIMA PERANG

(Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Bantani [1626  – 1699 M] 

Penyebar Islam di Afrika Selatan

Anda pernah mendengar di Cape Town, ibukota Negara Afrika Selatan ada kampung dan pantai indah yang bernama Macassar? Apakah hanya kebetulan sama atau ada kaitannya dengan Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan? Untuk mencari tahu jawabnya, tentu saja kita akan menemukan sosok ulama yang sufi sekaligus seorang panglima perang abad ke-17 yang dengan gagah berani melawan penjajahan Belanda yakni Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Bantani.

YUSUF KECIL

Yusuf kecil lahir di Istana Tallo pada 3 Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H, dari Puteri Gallarang Moncongloe di bawah pengawasan Sultan Gowa. Buah perkawinan Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawi dengan I Tubiani Sitti Aminah Daeng Kunjung. Orang tuanya termasuk kaum bangsawan. Ibunya memiliki hubungan darah dengan sultan-sultan Gowa, sedangkan ayahnya masih kerabat Sultan Alauddin.

Gelar “Syekh” diperoleh menurut tradisi tasawwuf setelah ia mendapat izin dari gurunya di Damaskus yang bernama al-Syekh Abu al-Barakah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalawaty al-Quraisy, karena Syekh Yusuf memiliki kemampuan dan penguasaan dalam tarekat.

Syekh Yusuf belajar bahasa Arab, ilmu fiqh, dan ilmu-ilmu syariat lainnya pada padepokan Bontoala sebuah pondok pesantren yang didirikan ketika Gowa menerima Islam sebagai agama kerajaan yang  kemudian merubahnya menjadi kesultanan ---provinsi dari Khilafah Islam yang saat itu berpusat di Turki. Pondok ini diasuh oleh Syekh Sayyid Ba’ Alwi bin Abdullah al-Allamah Thahir sejak 1634, seorang Arab Qurais dari Mekkah yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin. 

Di Makassar Syekh Yusuf sejak kecil dibiasakan hidup menurut norma-norma agama. Kebiasaan yang dianut oleh masyarakat Islam ketika itu, termasuk Gowa dan Tallo misalnya kewajiban belajar Alquran sampai khatam. Setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran bahasa Arab, tauhid, fiqh dan lain-lain. Tradisi itu juga dijalani oleh Syekh Yusuf. 

Saat sang guru menganggap pelajaran telah selesai, Syekh Yusuf yang kala itu berusia 18 tahun diberi pesan untuk melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke Mekkah. Sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Syekh Yusuf mempersunting Sitti Daeng Nisanga.

Sebelum sampai ke Mekkah, Syekh Yusuf, transit di berbagai Kesultanan dan menimba ilmu pada ulama-ulama terkemuka, seperti ke Banten, Aceh, Yaman dan Damaskus. Setelah itu barulah ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang ke Makassar menuntut ilmu dulu di Turki. 

JADI PANGLIMA PERANG

Sebelum ke Makassar, Syekh Yusuf kembali ke Banten. Di Banten, Syekh Yusuf diterima dengan senang hati oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dinikahkan dengan putrinya sendiri yaitu Aminah. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan guru besar agama Islam serta guru besar tarekat sekaligus panglima perang. Sejak 1660, pasukan yang dipimpin oleh Syekh Yusuf berkali-kali memukul mundur pasukan Belanda.

Syekh Yusuf kembali ke tanah air tepat setelah terjadi perjanjian Bongaya antara VOC Belanda dan Makassar, dan perlawanan Sultan Gowa tidak lagi memiliki pengaruh yang berarti. Pada saat itu, Arung Palakka, Sultan Bone, memilih berpihak pada VOC Belanda di bawah Spelman, dari pada mendukung Sultan Hasanuddin dari Makassar.

Keadaan tersebut menyebabkan masyarakat kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu menyabung ayam, minum tuak dan berjudi. Syekh Yusuf berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan menemui penguasa Gowa saat itu, yaitu Sultan Amir Hamzah (1669-1674), yang masih memiliki hubungan darah dengannya, untuk memberantas kemaksiatan.

Namun sultan tidak memenuhi keinginannya. Syekh Yusuf kembali ke Banten dengan perasaan kecewa. Sebelum meninggalkan Makassar, ia telah menyiapkan beberapa kader, termasuk Abdul Qadir Karaeng Majenneng dan Abdul Bashir Dharir, agar tetap melanjutkan dakwahnya.

Di Banten, Syekh Yusuf menjabat sebagai mufti selama 13 tahun. Berakhir setelah Belanda berhasil melakukan politik adu domba dan menghasut putra Sultan Ageng yakni Sultan Haji Si Pendurhaka untuk berontak. Sultan Ageng ditawan Belanda hingga wafat  pada 1692 M.

Sejak hari pertama, Sultan Ageng ditawan, Syekh Yusuf melanjutkan peperangan dengan taktik perang gerilya bersama putra Sulten Ageng lainnya yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul. Mereka membawa bala tentara menelusuri lembah dan ngarai yang terhampar antara Banten dan Cirebon guna mengacaukan pasukan musuh sambil membangun serangan.

Pertengahan tahun 1683, Belanda mengadakan pengejaran secara teratur dan berlangsung secara terus menerus, hingga Syekh Yusuf pun tertangkap. Syekh Yusuf bersama 49 pengikutnya termasuk kedua istri dan beberapa anaknya diasingkan ke Ceylon (sekarang Sri Lanka).

Karena telah berada dalam pengasingan Belanda, maka sejak di Sri Lanka inilah secara praktis, Syeikh Yusuf tidak lagi dapat menjalani dan memimpin perjuangan fisik. Maka ia  pun mulai mencurahkan seluruh hidupnya untuk diabdikan dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam. Syeikh Yusuf  kemudian menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu dan Bugis.

Dari pengasingannya, Syeikh Yusuf  aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Ceylon, di kalangan para penguasa, dan sultan-sultan di Nusantara. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syeikh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Di samping memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan.

Melihat Syekh Yusuf masih berpengaruh terhadap perjuangan perlawanan terhadap penjajahan, Belanda pun berang. Syekh Yusuf lalu dipindahkan ke tempat yang lebih jauh lagi yakni ke Tanjung Harapan atau Kaapstad (Cape Town sekarang) --- pulau yang menjorok ke laut di Selatan Afrika, tempat penjajah Belanda transit dalam membawa rempah-rempah hasil rampokannya dari Nusantara.

Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syeikh Yusuf di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Nusantara yang telah datang lebih dahulu.

Meski diasingkan, aktivitas dakwah tidak berhenti begitu saja. Ia bahkan semakin memantapkan pengajaran Islam kepada pengikut-pengikutnya. Ia juga mempengaruhi orang-orang buangan lainnya, yang kebanyakan berasal dari budak untuk melakukan perlawanan karena dalam Islam, mulia tidaknya seseorang bukan ditentukan oleh hitam atau putihnya warna kulit ---melainkan oleh keimanan dan ketakwaannya.

Berselang lima tahun, atau pada 23 Mei 1699, sudah ratusan orang jadi mualaf, Syekh Yusuf meninggal dalam usia 73 tahun. Ia dimakamkan di tempat itu juga. Untuk mengenang jasanya, kampung yang berlokasi 35 kilometer dari pusat kota Cape Town, diubah oleh masyarakat setempat menjadi Macassar Downs dan pantainya diberi nama Macassar Beach. Dari Macassar Downs, Islam tersebar ke berbagai daerah di Afsel.
Atas permintaan Raja Gowa, tahun 1705, jenazah Syekh Yusuf dipulangkan ke Makassar, dan dimakamkan di Lakiung, atau saat ini lebih dikenal dengan Ko'bang, yang berada di Jalan Syekh Yusuf, perbatasan Gowa dan Makassar.

Bukan hanya dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional RI pada 1995, lelaki yang diakui Presiden Afrika Selatan pertama berkulit hitam Nelson Mandela  sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik' tersebut pun mendapatkan penghargaan bintang kelas satu The Order of Supreme Companions of OR Tambo (Gold) dari pemerintah Afsel pada  2005.

Dari berbagai sumber
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

Jumat, 07 Februari 2020

BIOGRAFI SINGKAT MBAH SIROJ PAYAMAN

BIOGRAFI SINGKAT MBAH SIROJ PAYAMAN

Almarhum KH Anwari Sirajd dikenal dengan sosoknya yang sederhana, bersahaja dan bijaksana. Penuh dengan kelembutan serta tutur katanya yang halus merupakan ciri khususnya bila berhadapan dan memberikan wejangan berupa ceramah dan nasihat kepada ribuan santrinya di Pondok Sepuh.
Ulama besar ini konon dikenal dengan kedigdayaan ilmu karomahnya setelah menjalani pendidikan Islam di Kota Mekkah bersama Almarhum Mbah Dahlar yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan Ponpes Watu Congol, Gunungpring, Muntilan, Magelang dan Almarhum KH Hasyim Ashari pimpinan Ponpes Tebu Ireng, Jombag.

Usai berguru ilmu kitab tafsir dan hadis Al Bukhori sohih secara langsung selama tujuh tahun, ketiga ulama besar itu langsung naik daun. Mereka langsung dikenal sebagai kiai yang pamornya menggemparkan di seluruh Indonesia, terutama dikalangan pejuang.

Almarhum Kiai Anwari Sirajd sendiri namanya harum saat era perjuangan melawan kolonial Belanda. Kedigdayaan ilmu karomah yang dimilikinya dipercaya sebagai senjata ampuh untuk melawan Belanda, selain itu juga dipercaya dapat mencegah bencana letusan dan erupsi Gunung Merapi.

Saat itu ia diberikan gelar kehormatan Romo Agung oleh Belanda, karena berhasil menghalau awan panas dan lahar erupsi Gunung Merapi yang mengancam wilayah Kota Magelang yang pada zaman itu menjadi markas dan pusat Pemerintahan Gubernur Belanda.

“Belanda berikan Gelar Romo Agung dulu saat Merapi meletus. Belanda ingin halau lahar, minta doa ke Mbah Irsajd, doanya kabul tidak terjang Kota Magelang. Sehingga kejadian itu dikaitkan dengan rutinitas pembacaan Kitab Bukhori Sokhi yang dikenal dengan pengajian Sema’an Bukhoren membaca kitab Bukhori yang setiap Ramadan satu bulan penuh digelar di Masjid Agung, alun-alun Kota Magelang sampai sekarang,” kata KH Mafatikhul Huda, salah seorang cicit Almarhum KH Anwari Sirajd.

Menurutnya, keampuhan ilmu karomah yang dimiliki Almarhum terbukti saat terjadi agresi militer Belanda I. Saat itu Masjid Agung Payaman diserang Belanda pada tahun 1948 dengan membabi buta. Belanda selalu mencari sosok KH Sirajd yang dikenal sebagai pimpinan para santri pejuang.

Pencarian dilakukan mulai masjid sampai di beberapa kampung di Payaman, Magelang. Namun, hanya pohon-pohon sekitar yang terbakar karena KH Sirajd dan santri yang sempat bersembunyi di bawah masjid berhasil melarikan diri ke Desa Canden yang jaraknya 10 kilometer dari Masjid Agung Payaman, Magelang.

Kemudian, sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949, para santri dibekali oleh bambu runcing sebelum melakukan penyerangan ke Ambarawa. KH Subkhi pendiri Ponpes Bambu Runcing, Parakan, Temanggung yang saat itu masih menjadi santri Mbah Sirajd diperintahkan mencari bambu sebanyak-banyaknya dan diruncingkan untuk menjadi senjata melawan Belanda dalam Serangan Umum 1 Maret.

“Saat itu Mbah Sirajd memberikan bambu-bambu itu dengan doa-doa dan membawa kemenangan meski tentara Belanda memiliki senjata lengkap dan otomatis,” kata dia.
KH Subkhi kemudian memberi nama pondok pesantren yang didirikannya dengan nama Ponpes Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah yang masih berdiri kokoh dan eksis sampai sekarang. Kini, di Ambarawa berdiri kokoh sebuah monumen sebagai simbol agresi militer dengan nama Museum Palagan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Pada masa penjajahan, hanya KH Siraj yang diberikan kebebasan oleh Belanda untuk berdakwah ke berbagai daerah. Hal itu karena Belanda merasa segan dengan Karomah dan kesaktian yang dimiliki KH Siraj.
“Romo KH Siraj orang yang membawa Payaman ini dari jahiliyah menjadi madaniah. Dan setelah Belanda kalah, maka mulai digelarlah tradisi syawalan, atau dikenal bodo kupat, sejak 1950-an.” tutur Imam Masjid Agung Payaman yang juga sesepuh sekaligus cucu dari KH Siraj, Muhammad Tibyan (57). KH Siraj sendiri meninggal di usia 70 tahun pada tahun 1959

MAKAM MBAH SIROJ PAYAMAN

Makam mbah Siroj Payaman terletak di belakang Masjid Agung Payaman.
Sebelum akhir hayat beliau pernah berwasiat pada salah satu putrinya bernama Zahro agar jasadnya dimakamkan di belakang masjid karena pada suatu kali beliau pernah bertemu dengan seorang auliya' yang telah dimakamkan persis makam beliau sekarang ini. beliau wafat hari Kamis Pahing 20 Agustus 1959 M / 15 Safar 1379 H

ERANG ERANG SEKAR PANJANG

Satu hal yang perlu dicatat adalah karya tulis beliau yang konon merupakan inti sari dari kitab Ihya Ulumuddin, karya yang berujud not-not sya'ir arab ( bahr) diciptakan tanpa dipersiapkan terlebih dahulu. dibaca dan santri beliau mencatatnya. dalam memahami kitab dan mengubah dari natsar ( yang bukan bentuk bait ) kedalam bentuk sya'ir secara spontan adalah suatu prestasi tersendiri untuk beliau. 

ERANG-ERANG SEKAR PANJANG terdiri dari 3 juz berhuruf pegon ( huruf arab dan berbahasa jawa ) berisi falsafah dan hakikat kehidupan.

Bismillahirokhmaanirokhim

Laa illaha illaAllah - Almalikul khakul mubin
Muhammadur rosullah - hi sodikul wa'dil amin

---Bab Banget Bungah Ono Dunyo---
Ojo siro banget-banget
Gon mu bungah ono dunyo
                  Malaikat juru pati
                  Nglirak-nglirek maring siro
Olai ngelirik malaikat
Arep njabut nyowo siro
                  Gone Njabut angenteni
                  Dawuhe kang Moho Mulya
Sak wuse di dawuhi
Banjur tandang karo kondo
                 Aku iki ming sak deromo
                 Koe ora keno semoyo

Artinya
"Bab Senang Terhadap Dunia"
Jangan kamu begitu | Terlalu senang di dunia
Malaikat pencabut nyawa | Melirik terhadapmu
Malaikat melirikmu | Mau mencabut nyawamu
Mau mencabut menunggu | Perintah Yang Maha Mulya
Sesudah di perintah | Langsung siap dan berucap
Aku ini hanya sekedar | Kamu tidak bisa berucap 

Kesimpulannya.
"Jangan terlalu mengejar dunia untuk bersenang-senang sebab di dunia ini hanya sebentar kalo istilah orang-orang terdahulu 'mung mampir ngombe.' Bagi orang islam seharusnya menjalankan perintahNya dan Menjauhi semua Larangannya, karena yang namanya Mati itu urusan Allah yang bisa datang sewaktu-waktu. Sang malaikat maut sudah siap sewaktu-waktu menjabut nyawa. Tak perduli dimana pun dan kapanpun. Bersyukur bila mati dalam keadaan Khusnul khotimah tapi kalo mati dalam keadaan yang kurang baik (su'ul khotimah) naudzubilahimindzalik. Saudara muslim hidup ini cuma sementara, karena ada hidup yang lebih kekal setelah ini di akhirat sana."

Source:Dari berbagai sumber
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

SHOLAT MENGIMAMI ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH, SAH KAH??

SHOLAT MENGIMAMI ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH,SAH KAH??


Menurut Jumhur Ulama' :
Syarat didirikan jama'ah sholat wajib harus minimal 2 orang baligh ( makmum dan imam ) , jadi TIDAK SAH jama'ahnya imam baligh dengan makmum anak kecil yang belum baligh .

Namun menurut dhohirnya Pendapat Syafiiyyah yaitu yang menjadi satu riwayat dari Imam Ahmad Rodhiyallohu Anhu :

Berjamaah dengan makmum anak yang belum baligh hukumnya SAH .


الموسوعة الفقهية الكويتية ١٥ ص ٢٨١

أَقَل الْجَمَاعَةِ:
٣ - اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلاَةَ الْجَمَاعَةِ تَنْعَقِدُ بِاثْنَيْنِ: إِمَامٍ وَمَأْمُومٍ. وَذَلِكَ فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ. لِحَدِيثِ أَبِي مُوسَى مَرْفُوعًا: اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ 

وَيَشْتَرِطُ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ لاِنْعِقَادِ الْجَمَاعَةِ فِي الْفُرُوضِ أَنْ يَكُونَ الإِْمَامُ وَالْمَأْمُومُ كِلاَهُمَا بَالِغَيْنِ وَلَوْ كَانَ الْمَأْمُومُ امْرَأَةً، فَلاَ تَنْعَقِدُ بِصَبِيٍّ فِي فَرْضٍ لأَِنَّ صَلاَتَهُمَا فَرْضٌ، وَصَلاَةُ الصَّبِيِّ نَفْلٌ. أَمَّا فِي النَّوَافِل فَتَنْعَقِدُ الْجَمَاعَةُ بِصَبِيَّيْنِ، أَوْ بَالِغٍ وَصَبِيٍّ اتِّفَاقًا. وَظَاهِرُ كَلاَمِ الشَّافِعِيَّةِ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ إِلَى أَنَّهَا تَنْعَقِدُ بِصَغِيرٍ فِي الْفَرْضِ أَيْضًا إِذَا كَانَ الإِْمَامُ بَالِغًا (١) . 

--
(١) بدائع الصنائع ١ / ١٥٦، والدسوقي ١ / ٣٢١، ومغني المحتاج ١ / ٢٣٠، والجمل على شرح المنهج ٢ / ٩٦، وحاشية القليوبي، وكشاف القناع ١ / ٤٥٣، ٤٥٤.

Wallahu a'lam

MENGONSUMSI BELALANG, HALAL ATAU HARAM?

MENGONSUMSI BELALANG, HALAL ATAU HARAM?

Belalang merupakan salah satu jenis serangga yang sering ditemukan di pepohonan dan berbagai tempat yang dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan. Jenis belalang bervariasi, ada yang memiliki tubuh yang cukup besar, ada yang berukuran kecil, dan ada pula yang berukuran sedang. Warnanya pun juga bermacam-macam mulai dari warna coklat, hijau, kuning, atau lainnya. Berbagai jenis belalang ini juga dijelaskan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra secara ringkas:

 والجراد أصناف مختلفة : فبعضه كبير الجثة ، وبعضه صغيرها ، وبعضه أحمر وبعضه أصفر وبعضه أبيض “

Belalang ada beberapa jenis, sebagian memiliki tubuh yang besar, sebagian yang lain memiliki tubuh yang kecil. Sebagian berwarna merah, sebagian berwarna kuning, sebagian berwarna putih.” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz I, hal. 268) 

Sangking banyaknya hewan belalang ini, masyarakat mulai banyak yang menjadikan belalang sebagai salah satu komoditas makanan, baik untuk dikonsumsi secara pribadi ataupun diperjualbelikan. Misalnya belalang goreng, tumis belalang, dan berbagai macam masakan belalang lainnya. Pertanyaannya, apakah jenis makanan dari belalang diatas halal untuk dikonsumsi? Patut dipahami bahwa belalang merupakan salah satu hewan yang diberi kekhususan hukum oleh syariat tentang kehalalannya untuk dikonsumsi, meskipun telah menjadi bangkai. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam hadits:

 أحلت لكم ميتتان ودمان، فأما الميتتان: الجراد والحوت، وأما الدمان: فالطحال والكبد

 “Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah, dua bangkai yaitu bangkai belalang dan ikan, sedangkan dua darah yaitu limpa dan hati.” (HR. Baihaqi) Bahkan dalam berbagai riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah ﷺ dan Para Sahabat menjalani tujuh kali peperangan dengan berbekal mengonsumsi belalang. Hal ini seperti hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa:

 غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -ﷺ- سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ 

“Kami Berperang bersama Rasulullah ﷺ dalam tujuh peperangan dengan mengonsumsi belalang.” (HR. Muslim) 

Berdasarkan dalil yang begitu jelas diatas, maka tidak diragukan lagi bahwa belalang merupakan hewan yang halal untuk dikonsumsi, bahkan hukum kehalalan mengonsumsi belalang ini sudah menjadi konsensus ulama (ijma’). Seperti yang disinggung dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra: أجمع المسلمون على إباحة أكله  

“Umat Muslim sepakat atas kehalalan mengonsumsi belalang.” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz I, hal. 272) 

Belalang yang dihalalkan meliputi segala jenis belalang dengan ciri-ciri memiliki dua tangan di bagian dadanya, dua penyangga di bagian tengah dan dua kaki di bagian belakang. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin:

 قوله ويحل أكل ميتة الجراد أي للحديث المار والجراد مشتق من الجرد وهو بري وبحري وبعضه أصفر وبعضه أبيض وبعضه أحمر وله يدان في صدره وقائمتان في وسطه ورجلان في مؤخره

 “Halal mengonsumsi bangkai belalang berdasarkan hadits yang telah dijelaskan. Belalang adalah hewan darat dan laut, sebagian berwarna kuning, putih dan merah. Ia memiliki dua tangan pada dadanya, dua penegak bagian tubuh yang tengah dan memiliki dua kaki pada bagian belakang tubuhnya.” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha’, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz II, hal. 353). 

Wallahu a’lam. Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur  

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/103751/mengonsumsi-belalang-halal-atau-haram

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA - SYARAH SAFINATUN NAJA

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA  - SYARAH SAFINATUN NAJA | Pustaka Mampir Karya Syekh Muhammad Nawawi b...