Jumat, 07 Februari 2020

ANTARA ANJURAN dan KEMAMPUAN UNTUK MENIKAH

ANTARA ANJURAN dan KEMAMPUAN UNTUK MENIKAH

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu sekalian yang sudah mampu memberi nafkah, maka hendaklah ia menikah, karena ia lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab itu bisa menjadi perisai baginya”.

Hadis populer ini, biasanya dijadikan alasan utama oleh sebagian orang untuk cepat-cepat menikah. Ketika seorang lelaki dan perempuan sudah baligh, maka segeralah menikah. Titik tekan kemampuan untuk menikah atau syarat utama untuk menikah  adalah ketika seorang lelaki sudah mencapai status baligh, sudah menjadi seorang pemuda. Benarkah demikian makna hadis tersebut? Mari kita lihat makna hadis tersebut secara lebih luas. 

Pertama, hadis tersebut menggunakan kata ma’syar (معشر) yang berarti sekelompok orang yang memiliki kesempurnaan sifat, sehingga pemuda dinamakan ma’syar, para orang tua juga disebut dengan ma’syar dan para Nabi disebut juga ma’syar. Kesempurnaan sifat disini adalah kesempurnaan sifat kepemudaannya. Ini bisa kita lihat dengan uraian selanjutnya tentang makna syabab.

Kedua, hadis tersebut juga menggunakan kata syabaab (شباب) sebagai bentuk jamak dari syabun (شّابٌ) yang berarti pemuda. Kata syabaab memiliki makna seorang pemuda yang bukan hanya sudah dewasa secara biologis (baligh) tapi juga dewasa secara psikologis. Menurut para ulama, rentang usia syabaab adalah orang yang telah baligh hingga mencapai usia 30 atau 32 tahun.

Ini berbeda dengan kata hadats (حَدّثٌ) atau fataa (فّتّى) yang berarti seorang pemuda yang baligh atau hanya dewasa secara biologis tapi belum dewasa secara psikologis. Hadats atau fataa, lazimnya menurut para ulama, adalah anak muda yang berumur 16 tahun. Tentu saja orang yang sudah baligh sudah mampu untuk melakukan hubungan jima’, tapi sesungguhnya belum cukup dewasa untuk menikah dan menanggung biaya hidup keluarganya. Begitu juga, ia belum sanggup menjadi pemimpin keluarga yang mampu membimbing istri dan anak-anaknya.

Ketiga, selanjutnya hadis tersebut menggunakan kata al-baa’ah (البّاءّةّ). Dalam kajian Imam Nawawi, ada dua arti dari kata al-baa’ah. 

Yaitu melakukan jima’ (senggama). Jadi arti hadis itu adalah: “Barangsiapa di antara engkau yang telah mampu melakukan jima’ karena kesiapannya menanggung biaya nikah, maka hendaklah menikah, dan barang siapa yang belum mampu melakukan jima’ karena belum siap menanggung biaya hidup, maka hendaklah ia puasa untuk menolak syahwatnya dan mencegah dampak buruk daripada air maninya.

Yaitu biaya menikah. Ia dinamai dengan sesuatu yang menjadi konsekuensinya, maka makna hadis tersebut adalah, “Barang siapa di antara kamu yang mampu menanggung biaya nikah, hendaklah ia menikah, dan siapa yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa untuk menolak dorongan syahwatnya.”

Meskipun demikian, menurut Ibnu Hajar, kata al-baa’ah dapat diartikan juga dengan menggabungkan kedua arti di atas yakni kemampuan melakukan hubungan intim dan kemampuan memberi nafkah kepada keluarganya. Setelah terpenuhi semua syarat di atas yakni seorang pemuda yang telah baligh dan telah dewasa dengan sifat-sifatnya, sekaligus telah memiliki kemampuan ekonomi untuk membiayai keluarganya, barulah Rasulullah Saw memberikan perintah: “hendaklah ia menikah”.

Jadi perintah yang dianjurkan dalam hadis tersebut bukan sembarang perintah, melainkan perintah yang bersyarat. Hadis ini mengimbau agar para pemuda yang hendak melangsungkan pernikahan adalah pemuda yang sudah baligh, yang mampu melakukan hubungan intim (kemampuan biologis), yang sudah dewasa dalam bersikap (kemampuan psikologis) dan sudah sanggup memberi nafkah istrinya (kemampuan ekonomis). Itulah idealisme yang ingin dituju oleh pesan hadis tersebut.

Kita tidak bisa mereduksi makna hadis itu hanya dengan mensyaratkan seorang pemuda yang sudah baligh, yang sudah mampu melakukan hubungan intim dan sudah ingin sekali menikah. Hanya dengan syarat kemampuan biologis. Jangan juga kita batasi hanya dengan syarat sudah baligh dan sudah dewasa dalam bersikap (kemampuan psikologis), tanpa disertai syarat kemampuan memberi nafkah kepada istri (kemampuan ekonomis). Ketiganya, antara kemampuan biologis, kemampuan psikologis, dan kemampuan ekonomis, idealnya menjelma satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Tentu saja, kemampuan ekonomis di sini tidak harus menjadi orang kaya. Tapi setidaknya sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sang istri. Setiap orang yang akan menikah tentu bisa mengukur dirinya dengan adil. 

Kita tidak bisa membayangkan sebuah rumah tangga yang dibangun hanya dengan menuruti gejolak syahwat (menuruti kemampuan biologis) semata tanpa dilengkapi dengan kedewasaan sikap dan kemampuan ekonomis. Secara faktual, orang-orang yang menikah hanya mengikuti dorongan biologis semata, lazimnya rumah tangga mereka menjadi berantakan dan tidak jarang putus diawal-awal pernikahan. 

Jangankan pemuda yang hanya menikah karena dorongan biologis, sebagian pemuda yang sudah melengkapi diri dengan kemampuan psikologis dan ekonomis saja kadang kala rumah tangga mereka masih diterpa dengan guncangan demi guncangan. Ada saja sebagian kecil yang gagal mempertahankan keutuhan mahligai rumah tangga mereka. Namun sebagian besar tetap mampu mengendalikan bahtera rumah tangga mereka sampai dermaga terakhir, karena mereka telah memiliki bekal yang cukup lengkap. 

Dengan alasan inilah, pesan hadis di atas tidak berhenti sampai disini. Selanjutnya Rasulullah Saw juga mengimbau: “Dan siapa saja pemuda yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu bisa menjadi perisai baginya”. 

Artinya, para pemuda yang sudah baligh dan mungkin sudah dewasa dalam bersikap, tapi belum memiliki kemampuan ekonomis, sebaiknya menjalankan puasa agar mampu mengendalikan gejolak syahwat kepemudaannya. Tentu saja, puasa merupakan salah satu solusi terbaik di samping beragam solusi lainnya.

Bisa juga dengan rajin berolah raga. Sebab dengan aktif berolah raga akan dapat menetralisir kelebihan hormon testoteron sehingga gejolak syahwat dapat terkendali. Atau dapat juga terlibat aktif dalam beragam kegiatan-kegiatan sosial yang konstruktif lainnya. Namun pesan intinya: jika belum mampu dan belum memenuhi syarat untuk menikah, sebaiknya para pemuda menunda lebih dulu untuk menikah dengan mengerjakan berbagai kegiatan dan aktivitas lainnya yang bermanfaat bagi mereka sekaligus mempersiapkan bekal yang belum dimilikinya.

Dan kalau kita juga melihat kehidupan Rasulullah Saw, beliau melangsungkan pernikahan pada usia 25 tahun. Saat itu, beliau bukan hanya sudah benar-benar dewasa secara biologis dan psikologis, tapi juga sudah mapan secara ekonomis. Barangkali sungguh tepat bila kita meneladani beliau sebagai teladan ideal kita dalam segala aspek kehidupan sejauh kemampuan kita.
wallahu a'lam bish showab

Source:Laman FB Dr.Zaprulkhan

#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
#AhlusSunnahWalJamaahAnNahdhiyyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA - SYARAH SAFINATUN NAJA

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA  - SYARAH SAFINATUN NAJA | Pustaka Mampir Karya Syekh Muhammad Nawawi b...