DIPLOMASI, JIHADNYA PARA NABI
JIKA kita membaca sejarah para nabi, perjuangan mereka lebih didominasi kekuatan diplomasi daripada angkatan perang. Bukan saja Nabi Muhammad SAW, melainkan juga nabi-nabi lain.
Perhatikan kisah panjang Nabi Yusuf dalam Alquran yang pada akhirnya menjadi penguasa negeri Mesir walaupun dia bukan orang Mesir. Perhatikan pula langkah-langkah diplomasi Nabi Sulaiman yang menaklukkan Kerajaan Saba’ yang dipimpin Ratu Balqis yang digdaya itu. Lihat pula sejarah Nabi Ibrahim yang berhasil menyatukan berbagai bangsa tanpa melalui jalan kekerasan. Juga banyak lagi tokoh penting dalam sejarah yang sukses karena kekuatan diplomasi.
Kesuksesan misi dakwah Nabi lebih banyak ditentukan kepiawaian berdiplomasi Rasulullah ketimbang dengan jihad melalui peperangan. Dari segi kekuatan perang Rasulullah sesungguhnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dua kekuatan adidaya yang mengapitnya, yaitu Romawi Bizantium di barat dan kekuatan Persia di timur.
Kesuksesan gemilang Rasulullah lebih banyak ditentukan perjuang-an diplomasi. Diplomasi ialah bagian dari jihad yang paling diandalkan Rasulullah. Rasulullah amat piawai di dalam berdiplomasi.
Terkadang diplomasinya menempuh jalan-jalan yang sama sekali tidak populis, tetapi ia tetap istikamah. Rasulullah betul-betul berorientasi pada tujuan sebuah perjuangan, bukannya mengedepankan proses.
Berjihad melalui diplomasi selain risikonya sangat minim juga hasilnya bisa lebih permanen. Diplomasi bisa meniadakan atau paling tidak menunda peperangan yang akan menelan korban jiwa dan materi. Karena itu, para Nabi dibekali kekuatan diplomasi yang amat piawai.
Lihat, misalnya, bagaimana kepiawaian Nabi Sulaiman menaklukkan sebuah kekuatan adidaya yang dipimpin seorang perempuan bernama Balqis. Kepiawaian Balqis dilukiskan sebagai seorang ratu yang diberi gelar ‘pemilik kerajaan besar’ (laha ‘arsyun ‘adhim) sebagaimana disebutkan dalam QS al-Naml/27:23). Pada akhirnya Nabi Sulaiman bisa menaklukkan kerajaan ini tanpa setetes darah yang mengalir.
Contoh lain, ketika Nabi Ibrahim ditanya oleh Raja Namrud, “Siapa yang menghancurkan berhala-berhala kami.” Dengan diplomatis Nabi Ibrahim menjawab, “Itu yang paling besar,” sambil menunjuk berhala paling besar yang dikalungi kampak, setelah sebelumnya berhala-berhala lain dihancurkan. Nabi Ibrahim tidak berbohong karena yang ditunjuk memang ialah berhala paling besar walaupun maksudnya bukan dia yang menghancurkan berhala-berhala itu.
Dalam kasus lain, Nabi Yusuf menundukkan saudara-saudaranya yang pernah berusaha mencelakakan dirinya ke dalam sumur, bukan dengan cara membalas dendam ketika ia menjadi raja di Mesir. Namun, ia menguji mental saudara-saudaranya itu dengan cara menyembunyikan alat timbangan ke dalam karung gandum saudara-saudaranya.
Para saudaranya dihadapkan kembali kepada raja setelah ditemukan alat bukti di dalam karung. Nabi Yusuf bukannya menghukum saudara-saudaranya, tetapi memaafkannya.
Akhirnya, saudara-saudara Nabi Yusuf tertunduk malu dan menyesali seluruh perbuatan yang pernah dilakukan di masa lalu. Mereka berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatan yang memalukan itu.
Nabi Muhammad SAW juga kaya dengan pengalaman diplomasi sebagai metode di dalam menggalang pengaruh dan mengembangkan misi suci. Sukses demi sukses Nabi sesungguhnya lebih ditentukan oleh kecerdasan beliau mengambil langkah dan keputusan yang tepat sehingga tidak pernah terlambat dan tidak pernah pula terasa lebih cepat mengambil keputusan.
Itulah kemampuan diplomasi Nabi yang tidak tertandingi di zamannya. Dia seolah-olah lahir jauh mendahului zamannya.
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA
https://mediaindonesia.com
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar