MBAH ALI MAKSUM, POHON KRISTEN DAN ANOMALI LOGIKA BERAGAMA
Pernah suatu ketika, KH Ali Maksum jalan-jalan di sekitar pesantren. Beliau sering melakukan kegiatan tersebut, berniat untuk memantau kondisi di sekitar lingkungan pesantren. Entah itu kondisi santrinya, pun masyarakat di sekitarnya.
Senyum dan sapa adalah ciri khas Mbah Ali ketika berpapasan dan bertemu dengan orang lain. Pemandangan santri berbaris berderet panjang untuk bersalaman juga hal lazim bagi Mbah Ali.
Sejauh beliau berjalan, nampak kondisinya sesuai dengan apa yang selalu beliau harapkan: “baik-baik saja”. Santri berkegiatan seperti biasa, ada yg mengaji Al-Qur’an, belajar, mencuci dan tidak sedikit yg sedang ngopi berdiskusi.
Ya begitulah, kultur pesantren yang dibangun oleh Mbah Ali adalah kultur keterbukaan. Segala yang bisa dipelajari, akan juga dikupas dan dimakan habis. Kajian keislaman pesantren di era Mbah Ali dicatat mendapatkan momentum terbaiknya.
Tapi ketika dirasa baik-baik saja, mata Mbah Kyai Ali menatap dalam-dalam dari kejauhan sana terdapat keramaian. Beliau mendekati sumber keramaian, didapatinya enam orang santri berjibaku untuk menebang pohon. Mbah Ali semakin dekat, hingga bisa memastikan bahwa pohon yg akan ditebang adalah pohon cemara. Mbah Kyai Ali lantas bertanya dengan tanggap.
“He Cong, koe ngopo nebang wit kui?”, tanya Mbah Kyai Ali dengan beribu tanda tanya.
(Hei Cong,kenapa kalian mau menebang pohon itu?)
“Niki wit Ceramah Mbah, eh cemara Mbah”, jawab santri tergagap. Kaget sekaligus takut. Mereka hampir tak menyadari kedatangan Mbah Kyai Ali sebab sibuk menebang.
(Ini pohon ceramah, eh cemara Mbah)
“Terus ngopo nek Wit Cemara? Ngopo kok ditebang?” Mbah Kyai Ali terus menyelidiki.
(Terus kenapa kalo pohon cemara? Kenapa kok ditebang)
“Lah niki pohon Kristen Mbah. Wit ingkang didamel umat Kristen ngrayakke Natal. Supados mboten nyerupani, lare2 sepakat nebang wit niki”.
(Lha ini kan pohon Kristen Mbah. Pohon yang dipakai umat Kristen untuk merayakan Natal.Biar nggak menyerupai,anak-anak sepakat menebang pohon ini)
“…dalile kan pun jelas Mbah: “Man tasyabbaha bi qoumin fahuwa minhu”. Panjang santri sembari ndalili Kiainya sendiri.
(... Dalilnya kan sudah jelas Mbah...)
“Hmm ngono tho le“, dehem Mbah Kyai Ali, “Lah sejak kapan pepohonan mempunyai agama?”, Mbah Kyai Ali bertanya balik.
(Hmm, gitu ya le)
Yang ditanyai tanpa respon, saling sawang-sinawang(pandang) satu sama lain. Bingung gelagapan.
"Asal salatmu iseh kenceng(asal sholat mu masih giat), ra bakal wit-witan iki nyuboi imanmu(pohon-pohon ini nggak bakal mengganggu imanmu), le. Pohon Cemara kamu bilang pohon Kristen. Nggak sekalian saja pohon lainnya kamu kasih agama? Semua saja kamu labeli agama. Motor agama Shinto soalnya dari Jepang. Bentuk motor mirip salib, kamu bilang itu kendaraan kafir."
Selagi Mbah Kyai Ali menjelaskan, masing-masing santri diam-diam melempar muka dan melepaskan alat-alat yg tadi dibuat untuk menebang, seperti tali, gergaji, palu dan golok.
Semua santri diam dan tak berdaya. Setelah mendapat penjelasan panjang lebar, seolah2 mereka pengin pipis di celana. Masih tanpa ekspresi, mereka berdiri terpaku dan terpukau dengan penjelasan Mbah Kyai Ali.
“Ra usah ditebang(nggak usah dipotong), le”, perintah Mbah Ali. Sedang para santri langsung bubar tak lupa pamit dengan bersalaman kepada Mbah Kyai Ali.
Soal hadist tadi, tidak semua keserupaan itu berlaku di segala sisi kehidupan sosial dan budaya. Bahkan hadist itu berlaku hanya pada keserupaan perihal ibadah agama tertentu.
Pernah Nabi SAW. menyerupai orang musyrikin dan Yahudi dalam menyisir rambut, dan beliau menyukai model rambut yg kedua. Pun dengan kubah masjid, itu tradisi bangsa Romawi, lihat Aya Sofia di Istanbul Turki. Tapi tak ada yg meragukannya, sebab mindset kita kalau kubah itu ya Islam.
Tapi, coba Anda lihat beberapa langgar–sejenis dengan musholla, bentuk kubahnya prisma, menyerupai bentuk gereja. Begitulah salah satu bentuk manifestasi dari penghargaan sekaligus penghormatan Islam Rahmatan lil’alamin terhadap agama lain.
Sekali lagi, ini bukan soal menyerupai kaum ini dan itu. Akan tetapi, Mbah Kyai Ali mencoba untuk tidak mendiskreditkan agama-agama lain dalam campur tangan orang Islam. Ini soal kesehatan logika beragama kita, yg seringkali merasa iman kita ditakutkan tercampur dgn iman agama lain sebab meniru mereka.
Selain itu, pepohonan merupakan sumber air. Air yg bersih dan melimpah itu berkat filterisasi dari proses pertumbuhan pepohonan. Kotoran dan jenis penyebab penyakit dalam air disaring oleh akar pohon-pohon. Mereka mengelola peredaran air melalui akar-akar yang menghunjam di bawah tanah. Sehingga air bisa dinikmati oleh manusia.
Karenanya, Mbah Kyai Ali juga melarang untuk menebang, pasalnya persediaan air yg dibutuhkan oleh pesantren sangatlah banyak. Apabila pohon ditebang, otomatis sumber air bisa berkurang.
Ala kulli hal, hikmah yg bisa kita ambil dari kisah Mbah Kyai ali tersebut adalah, jangan sekali-kali menyerupai orang lain sembari mengolok-olok kaum yg kamu serupai.
Sumber cerita dari ceramah KH. Buchori Masruri saat Haul Mbah Ali Maksum
Jadi keinget masjid yang lagi rame tuh😁
almunawwir
#SantriMbelinxsID
#NahdhotulUlama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar