SENTUHAN SETAN
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Ghazali mengisahkan.
Suatu waktu, Rasulullah Saw sedang berkumpul bersama para sahabatnya. Sebagian mereka menceritakan tentang seorang lelaki kepada Rasulullah Saw. Mereka berulang kali memuji kehebatan ibadah ritualistik lelaki tersebut di hadapan beliau.
Di tengah-tengah pujian mereka, tiba-tiba lelaki tersebut muncul dengan wajah masih basah dengan air wudhu; Buliran-buliran air wudhu masih menetes dari wajahnya. Lelaki tersebut berjalan sambil menjinjing sandalnya dengan kedua tangannya. Sementara di kening antara kedua matanya tampak bekas sujud, atsarus sujud.
Tatkala melihat kedatangan lelaki tersebut, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, inilah orang yang kami gambarkan tentang kehebatan ibadah dan kesalehannya kepada engkau”.
Dengan ketajaman nubuwahnya, Rasulullah Saw memandang lelaki tersebut. Lalu beliau berkata yang membuat semua yang hadir tersentak kaget:
أرى عل وجهه سفعة من الشّيطان
“Aku justru melihat sentuhan setan pada wajahnya.”
Kemudian lelaki tersebut mendekat, mengucapkan salam dan duduk kumpul bersama Rasulullah Saw dan para sahabat. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada lelaki itu, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah ketika engkau datang kepada kaummu engkau berkata kepada dirimu sendiri bahwa tidak ada orang yang lebih baik daripada engkau di kalangan mereka?”
Lelaki itu pun menjawab, “Ya, benar”.
* * *
Kisah ini dengan manis ingin menunjukkan bahwa kesalehan ritualistik tidak menjamin kesalehan intrinsik. Ketaatan lahiriah bukan jaminan pasti kepatuhan batiniah.
Secara demonstratif, kisah di atas justru menyingkap selubung kepalsuan yang dibungkus dengan jubah kesalehan ritualistik oleh sebagian manusia. Namun ditengah-tengah ketaatan yang begitu intens, ternyata bersemayam sebuah penyakit hati yang bernama ‘ujub, meskipun tidak ia sadari.
Melalui kisah di atas juga, Imam Ghazali hendak menunjukkan bahwa tanpa kesadaran sufistik, tanpa kesadaran transendental yang intens dalam jiwa kita, maka tidak ada jaminan bagi kita untuk terbebas dari intaian pelbagai penyakit hati, seperti takabur, riya’, sum’ah, dengki, hubbud dunya, hubbud jah, tamak, ataupun ‘ujub walaupun bersama ketaatan ritualistik yang sudah begitu lama kita jalani.
Inilah salah satu pentingnya bagi kita untuk memahami tasawuf. Karena dengan memahami tasawuf dan memiliki kesadaran sufisktik, kita bisa meraba hati kita dan menyadari apakah ibadah-ibadah ritualistik kita sudah benar-benar steril dari noda-noda penyakit hati. Sebab tanpa pemahaman tasawuf dan kesadaran sufistik, seperti lelaki dalam kisah di atas, jangan-jangan kesalehan ritualistik yang kita jalani selama ini sudah terkena sentuhan setan, meskipun tidak kita sadari. Waspadalah...
Wallahu a’lam bish showab
Zaprulkhan
#SelfReminder
#SantriMbelinxsID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar