KH.THOLHAH HASAN, KIAI PRODUKTIF DARI MALANG
(10 OKTOBER 1936-29 MEI 2019)
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun. Kabar duka menghampiri kita pada Ramadan ini. Kiai Tholhah Hasan, salah satu intelektual santri terbaik di negara ini telah kembali ke hadirat Ilahi.
Muhammad Tholhah Hasan adalah sosok seorang kiai organistatoris yang sangat berkompeten. Beliau juga termasuk salah seorang yang memiliki sanad keilmuan secara langsung kepada KH. Hasyim Asy’ari. Kiai Tholhah juga salah seorang pemikir sekaligus praktisi dalam bidang ilmu wakaf. Beliau merupakan seorang pendidik yang mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat dan para tokoh karena etos kerja dan pola hidup zuhudnya.
Kiai Tholhah lahir dalam keadaan lingkungan yang religius. Masa remajanya beliau habiskan untuk tinggal dan menggali ilmu di lembaga pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren telah menjadi identitas yang melekat dalam dirinya, sehingga beliau besar menjadi sosok yang alim dalam bidang ke-Agamaan dan juga memiliki concern dalam pemberdayaan dan kesejahteraan umat.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa Sedayu Lawas pada masa penjajahan Belanda, pasukan Indonesia datang menemui seorang kiai sepuh di desa tersebut, berkunjungnya pasukan Indonesia ke kediaman kiai tersebut guna untuk meminta doa atau wiridan, kiai sepuh tersebut bernama kiai Abu Hasan, selain ahli ilmu kanuragan, beliau juga ahli dalam ilmu pengetahuan agama Islam, yang mana pada sore dan malam hari beliau mengajar kitab suci Alquran dan juga mengajarkan kitab-kitab kuning kepada warga.
Selama mengarungi bahtera rumah tangga, Kiai Abu Hasan dan Nyai Wuriam memiliki satu orang putra yang kemudian diberi nama Tholhah oleh Kiai Abu Hasan, Tholah sendiri adalah anak kandung dari Kiai Abu Hasan dari istrinya yang pertama sebelum menikah dengan Nyai Wuriam.
Dalam usianya yang relatif muda, Tholhah telah menjadi tokoh panutan orang-orang desa Sedayu Lawas. Waktu itu, ia menggerakkan anak-anak muda untuk selalu berpikir kritis dan memikirkan nasib yang terjadi di Negeri ini. Ia mengajak pemuda-pemuda Sedayu Lawas untuk memantau perkembangan politik yang sedang berlangsung dengan mendiskusikan tulisan-tulisan yang ada di majalah MIA. Ia juga dikenal oleh penduduk Sedayu Lawas sebagai salah seorang tokoh pemuda yang membidani kelahiran organisasi Anshor di Sedayu Lawas.
Ketika menjelang dewasa, Tholhah dinikahkan dengan Anis Fatma yang sebenarnya masih sebagai saudara dekatnya sendiri. Anis Fatma adalah keponakan dari Nyai Wuriam yang sekaligus sebagai anak angkat beliau. Anis Fatma adalah anak dari Nyai Suwarni dengan Raden Sudiyo, Nyai Suwarni sendiri adalah kakak kandung dari Nyai Nyai Wuriam. Dalam perkawinan Tholhah dengan Anis Fatma, mereka dikaruniakan seorang putra yang diberi nama dengan Muhammad Affan Mufti.
Ketika usianya baru menginjak empat tahun, bocah kecil ini melihat orang-orang di kampung tiba-tiba datang ke rumahnya, lalu terdengar bacaan-bacaan tahlil dan doa-doa. Sementara di tengah-tengah, ia melihat ayah tercintanya terbujur kaku berbungkus kain putih. Waktu itu ia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, yang ia tahu, sejak hari itu, tak pernah ia dapati sang ayah pulang ke rumah dan tak bisa lagi bermanja-manjaan dengan ayah tercintanya itu.
Selang beberapa hari setelahnya, lagi-lagi kembali beberapa orang datang ke rumahnya, membaca doa-doa sambil mengelilingi sebuah nasi tummpeng. Lalu kemudian sang kakek memberi tahu kalau dirinya tidak lagi dipanggil affan atau mufti, akan tetapi panggilan untuknya adalah Tholhah, persis dengan nama ayahnya.
Pendidikan KH. Muhammad Tholhah Hasan
Semasa kecil, Kiai Tholhah belajar dan diasuh oleh Kiai Asy’ari, beliau adalah salah satu guru Kiai Tholhah yang amat sangat ia hormati, pun juga oleh sahabat-sahabatnya. Kiai Asy’ari merupakan sosok Ustadz kampung yang penuh rasa cinta kasih dengan pendalaman rasa yang luar biasa terhadap anak didiknya. Kepadanya anak-anak kecil kampung biasa mengadu atas segala persoalan mereka. Dan kalau sudah demikian, dengan begitu telaten, ia mau mendengarkan curhatan anak-anak itu.
Pada saat Kiai Tholhah berusia tujuh tahun, ketika itu di kampungnya baru mulai didirikan Sekolah Rakyat (SR). Dan ia pun masuk ke sekolah itu. Dengan demikian, dalam satu hari, ia mengikuti sekolah dua kali. Pada jam 07.00 sampai jam 12.00 siang belajar di sekolah rakyat, kemudian mulai jam 14.30.00 ia mengikuti sekolah diniyah.
Berkat dorongan, doa, dan usaha dari kakek, nenek, dan ibunya. Kiai Tholhah pergi meninggalkan kampung halamannya menuju pondok pesantren Tebuireng di Jombang dengan membawa bekal dari hasil warisan sang ayah yang dijual ibunya. Satu tahun Kiai Tholhah nyantri di Tebuireng,ia telah berhasil menghafalkan seribu bait Alfiyah.
Sebagaimana santri pada umumnya, Kiai Tholhah saat itu memiliki keinginan untuk melanglang buana berguru kepada Kiai-kiai yang berbeda. Tercatat Kiai Tholhah telah belajar kepada banyak guru, antara lain Kiai Idris, Kiai Adlan, Kiai Masykur, Kiai Mahfudz, Kiai Baidhawi, Kiai Manan, Kiai Syamsuri, Kiai Romli, Juga kepada Hadrotu Syekh Hasyim Asy'ari. Kiai Tholhah juga pernah posonan ke daerah Lasem di Jogjakarta. Waktu iu, ia mengikuti pengajian fikih yang diajarkan oleh Kiai Maksum. Pernah juga, beberapa bulan ke Tambak Beras untuk mengikuti pengajian fikih.
Setelah pindah ke Malang, beliau menekuni pendidikan umum pada jenjang perguruan tinggi. Jenjang sarjana muda beliau dapatkan pada jurusan Ilmu Pemerintahan pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Merdeka Malang. Jenjang ini ditekuninya selama tiga tahun, mulai pada tahun 1963 dan selesai pada 1966. Pada tahun 1974 beliau mengambil program sarjana jurusan Ketatanegaraan fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (FKK) yang sekarang berubah namanya menjadi Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang, hingga memperoleh derajat ke-sarjanaannya pada tahun 1973.
Rekam Jejak Perjalanan KH. Muhammad Tholhah Hasan
Kontribusi Kiai Tholhah turut mewarnai dinamika Bangsa ini. Seorang Kiai dengan latar belakang pendidikan pesantren, yang kemudian melanjutkan pendidikan sarjana mudanya dalam bidang ilmu administrasi, dan mendapat gelar Doctor Honoris Causa (DHS) dalam kajian pendidikan, yang selanjutnya gelar Profesor beliau peroleh dalam bidang Ilmu Wakaf. Oleh karenanya tak heran jika Prof. Dr. Nasaruddin Umar memberikan julukan kepada beliau sebagai “Kiai Multitalenta”.
Kiai Tholhah mulai menekuni organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sejak tingkat yang paling rendah yaitu tingkat ranting, kemudian naik ke tingkat Pengurus Cabang, kemudian ke Pengurus Wilayah dan bahkan hingga ke Pengurus Besa. Karir beliau di organisasi Nahdatul Ulama di mulai pada tahun 1960, beliau dipecaya sebagai pimpinan ranting di Singosari Malang, kemudian di tahun 1963 beiau menjadi ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) di Singosari Malang sampai tahun 1966. Kemudian di tahun ini juga 1966 sampai 1969 beliau menabat sebagai salah satu ketua Pengurus Cabang NU Kabupaten Malang.
Selanjutnya pada tahun 1986 sampai 1989 menjabat sebagai salah satu ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur periode 1986-1992. Sebelum habis masa kepengurusan Tanfidziyah wilayah Jawa Timur tersebut, beliau ditarik ke pusat menjadi salah satu ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) periode 1990-1994 berdasarkan hasil Muktamar NU ke-28 yang berlangsung di Pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta, sebagai ketua IV (Bidang Urusan Luar Negeri). Sejak tahun 1994 sampai 2009, beliau aktif di salah satu ketua Rois Syuriah PBNU, sebagai Syuriah urusan pengembangan sumber daya manusia.
Tak hanya itu, pada masa mudanya Kiai Tholhah pernah menjabat sebagai anggota Badan Pemerintah Harian Daerah (BPH-PEMDA) Kabupaten Malang selama kurang lebih 9 tahun. Dalam karier politik beliau juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang, juga pernah di angkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia pada era reformasi yaitu kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid. 101
Perannya sebagai ulama juga ditunjukkan dengan eksistensi Masjid Sabilillah di Singosari Malang yang dibangun bersama salah seorang founding fathers NKRI, KH Masykur. KH Masykur menunjuk Kiai Alumni Tebuireng ini sebagai ketua panitia pembangunan masjid itu. Kiai Tholhah mampu mengembangkan Masjid Sabilillah menjadi sebuah masjid yang tidak hanya menonjol sebagai tempat ibadah, melainkan tempat pengembangan masyarakat dengan memberdayakan masjid berperan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal ini dutunjukkan dengan adanya sekolah mulai tingkat dasar sampai lanjutan, kegiatan sosial ekonomi dengan adanya Laziz Sabilillah, Poliklinik sebagai pusat kesehatan Masyarakat. Semuanya itu dikelola dengan baik di bawah Masjid Sabilillah. Hal demikian ini menunjukkan bahwa Kiai Tholhah mampu mengembangkan masjid sebagai pusat peradaban seperti masa lalu.
Pasca beliau menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, beliau diberikan amanat untuk memimpin sebuah lembaga milik negara yang berada di bawah payung Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu Badan Wakaf Indonesia. Peran beliau sebagai seorang pemimpin terbukti berhasil, kinerja beliau yang tak dapat dipandang sebelah mata, prestasi beliau juga tak dapat ditutupi walau se-ujung jari dalam perkembangan wakaf di negara Indonesia ini. Setelah selesai beliau memimpin Badan Wakaf Indonesia, beliau kemudian diangkat menjadi Dewan Pembina Badan Wakaf Indonesia sampai saat ini.
Karya-karya KH. Muhammad Tholhah Hasan
Sebagai seorang intelektual, Kiai Tholhah telah banyak menyumbangkan karya-karyanya yang sangat berharga untuk perkembangan peradaban sosial masyarakat Islam khususnya dan masyarakat non-Islam pada umumnya. Karya-karya beliau tak hanya berupa tulisan, akan tetapi juga berupa fisik yang telah berhasil beliau kembangkan dari nol. Karya-karya tulis Kiai Tholhah adalah :
Islam dan Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2000)
Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2000).
Kado Untuk Tamu-tamu Allah (Jakarta: Lantabora Press, 2000).
Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press 2004).
Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta: Listarafiska Putra, 2004)
Diskursus Islam Kontemporer (Jakarta: Listarafiska Putra, 20004).
Ahlusunnah Wal Jama‟ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta, Lantabora Press, 2004).
Agama Moderat: Pesantren dan Terorisme (Jakarta: Listarafiska Putra, 20004).
Apabila Iman Tetap Bertahan (Jakarta: Listarafiska Putra, 20004).
Selamat Jalan, Kiai. Semoga kami bisa meneladanimu.
Rizal Musim/alif.id
#SantriMbelinxsID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar