Sabtu, 16 November 2019

LIKA LIKU SANTRI MILLENIAL

LIKA LIKU SANTRI MILLENIAL

(Al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah) 

Zaman dulu(certane embah2) ketika orang tua hendak mengirim putra dan putrinya ke pesantren, pertanyaan yang sering muncul adalah,

“Kitab apa yang diajarkan di pesantren? Kiainya Alumni Pesantren mana?
Sanad keilmuannya menyambung ke Kiai siapa dan seterusnya?

Namun sekarang ini, ada sebagian pertanyaan orang tua berbeda. Dari mereka banyak bertanya, 

Apakah di kamar pesantren ada AC-nya?
Bagaimana tempat tidurnya (di kasur atau lesehan)? 
Bagaimana makanannya (bergizi atau tidak)? 
Mencuci seperti apa? 
Boleh pulang nggak seminggu sekali?

Banyak yang bisa kita tafsiri dari pergeseran pertanyaan calon wali santri hari ini, Zaman Now. Salah satu tafsir yang berat dan serius, adalah ada pergeseran makna dan tujuan orang tua mengirim anaknya ke pesantren, kalau orang tua zaman dulu memondokkan anaknya untuk mencari ilmu sekaligus mencari berkah ilmu dan para pemilik ilmu, namun orang tua zaman sekarang hanya bertujuan mencari ilmu saja, kalau orang tua zaman dulu sadar bahwa mondok harus disertai dengan ber-riyadhoh(tirakat) dengan berpuasa, Qiyamullail dan seterusnya. 

Namun orang tua Zaman Now lebih mementingkan kenyamanan dalam memondokkan anaknya dan mengesampingkan hal-hal seperti riyadloh. Kalau orang zaman dulu memondokkan anaknya dengan menyerahkan jiwa raga anaknya kepada Kiai bahkan sering berkata 

“Kalau melanggar aturan mohon diberi takzir (semacam hukuman atau sangsi), namun orang tua zaman now berbeda dan bahkan tidak rela kalau anaknya diberikan takzir.

Fenomena-fenomena tersebut di atas bagaikan fenomena gunung es, masih banyak fenomena-fenomena lainnya yang tidak terlihat.

Generasi milenial banyak belajar agama melalui internet yang mengesampingkan ke-pakaran dalam bidang agama secara face to face/guru dan murid. Mereka secara otodidak berguru melalui Google, melalui video di Youtube dan seterusnya, mereka lupa belajar agama seperti santri yang secara langsung bertatap muka (Muwajjahah) dengan Kiai, belajar dengan Kiai yang mempunyai sanad keilmuan tersambung (Muttasil) sampai ke pengarang kitab dan sampai ke Rasululloh SAW. 
    
 Kita beruntung menjadi seorang santri pondok pesantren yang sangat menghargai “proses” menghargai kepakaran, mempelajari sebuah ilmu di pesantren itu melalui proses yang panjang bermula dari mempelajari ilmu yang paling dasar (Ushul) kemudian sampai mempelajari ilmu cabang (Furu’), belajar dari yang umum ('Am)  kemudian baru yang khusus (Khos), ada yang menganalogikan ilmu pesantren dan ilmu non-pesantren itu seperti “bawang” dan “pisau” maksudnya “ilmu” yang dipelajari di pesantren itu bagaikan “bawang” ilmu dipandang sebagai “ilmu” bukan sebagai “metode” atau alat.

Karena ilmu itu bawang maka derajad ilmu seseorang tergantung pada seberapa banyak bawang yang dia punya. Lalu seberapa lihai dia memasak bawang untuk membuat makanan yang lezat. Ilmu di pesantren adalah subtansi, yang berkaitan dengan kitab suci AL QUR'AN dan HADITS yang sangat sakral termasuk ilmu-ilmu alat (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan seterusnya). 
Tidak berlebihan jika empunya ilmu, sang guru, juga sakral. Kenapa?

Karena beliau memegang teguh ‘adalah dan Muru’ah (moral probity), hati-hati dalam bersikap dan menjaga kehormatan peribadinya dan ilmu yang dimilikinya, sebagai seorang murid kita harus hormat kepada para empunya ilmu (Guru, Kiai dan seterusnya).
Di dalam kitab Ta’limul Mutaallim diterangkan tentang etika dan etiket menghargai ilmu dan empunya, seperti suci ketika memegang kitab, menghadap kiblat ketika mengaji, dan mengirimkan Al-Fatihah kepada pengarang kitab ketika mau mengaji dan seterusnya. 

Ini berbeda dengan pisau, pisau adalah alat yang netral sehingga memerlukan jarak agar alat bisa objektif dalam melakukan analisa, dan orang yang mempelajari ilmuan modern tidak mendapatkan tuntutan dan tidak terikat dengan ‘Adalah dan Muru’ah,dia bebas berkehendak menurut dia sendiri karena keilmuannya tidak mensyaratkan itu.

Di pesantren kita belajar tentang bagaimana tata cara menghargai seorang Guru, Kiai, Nyai dan keluarganya. 
Mengapa? Jawabnya 
"Karena di pesantren selain mengenal istilah “ilmu manfaat” kita juga mengenal istilah “ilmu barokah”. 
Barokah tidak akan bisa didapatkan tanpa adanya penghormatan kepada ahli ilmu. di pesantren para Kiai tidak hanya mengajarkan ilmu melalui transfer of knowledge melalui pengajaran Sorogan, Bandongan, Musyawarah, Rihlah ilmiah dan seterusnya tetapi juga para Kiai mengajari tentang akhlak dengan menjadi teladan dan role model keilmuan, bahkan para Kiai juga mendoakan para santri-santrinya kelak menjadi orang yang bermanfaat dan barokah di dunia dan akhirat. Inilah karakteristik santri yang “mahal” yang dimiliki oleh seorang santri karena tidak hanya terikat secara dhohiriyah (luar) saja tetapi terikat secara bathiniyah (dalam) juga, tidak hanya raganya tetapi juga jiwanya."

[[ Dalami dan praktekkan - Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik ]]

Ini Saja
#SantriMbelinxsID
#AyoMondokPesantrenkuKeren
#TheSarungerSquad
#PeciItem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA - SYARAH SAFINATUN NAJA

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA  - SYARAH SAFINATUN NAJA | Pustaka Mampir Karya Syekh Muhammad Nawawi b...