Sabtu, 16 November 2019

IMSAK SAHUR, BID'AH KAH??

IMSAK SAHUR, BID'AH KAH?? 

Seorang teman mengeluh karena di masjidnya tadi malam tidak ada lagi yang menyiarkan waktu imsak. Ia lalu bertanya kepada bapak-bapak yang biasanya menyalakan mic dan menyiarkan imsak. Bapak ini menjawab kalo ia takut dibilang bid'ah.

Memang saat ini beredar viral yang menyatakan bahwa tradisi imsak saat sahur adalah bid'ah, tidak ada dalilnya dari Nabi. 

Hal ini bisa dilacak dari pertanyaan yang tujukan kepada Syeikh Usaimin. Beliau menjawab bahwa imsak termasuk bid'ah.

“… Perbuatan ini (imsak beberapa menit sebelum azan) merupakan perbuatan bid’ah, tidak ada dasarnya dalam sunnah, bahkan sangat bertentangan dengan sunnah. Sebab ALLAH SWT  telah menegaskan dalam Al-Qur'an: 
“…Dan makan serta minumlah sampai nampak jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai datang malam hari…” (Q.S Al-Baqarah:187). (Fatawa al-Islâm: 2/126): 

Dari fatwa inilah lalu orang-orang salafi di Indonesia gencar membid'ahkan tradisi imsak.

Tradisi "...imsak.. imsak.." sebenarnya sudah lama ada. Sayang banyak yang salah paham, gegara terjebak pada arti bahasa. Secara bahasa, imsak artinya: menahan diri. Dari apa? Dari hal-hal yang dilarang dalam puasa, terutama makan, minum, maupun bersenggama. 

Dari sini lalu dipahami bahwa kalau di Masjid sudah terdengar tanda imsak, maka saat itu juga haram hukumnya makan, minum, dll. Padahal sebenarnya tidak begitu. 

Suara "imsak.." "..imsak" yang jadi tradisi di Indonesia sebenarnya adalah peringatan bagi warga muslim sekitar masjid setempat, bahwa waktu sahur akan segera berakhir, bahwa sebentar lagi akan segera masuk waktu subuh, bahwa sebentar lagi kita harus menahan diri. 

Dari mana kebiasaan ini muncul? Dari hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim ini: 

عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال  : تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ ؟  قَالَ قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً

Dari Zaid bin Tsabit ra. ia berkata, “dahulu kami sahur bersama Nabi saw,  kemudian beliau shalat subuh”. Anas bin Malik bertanya, “berapa jeda waktu antara adzan subuh dengan sahur?” Zaid menjawab, "Kira-kira rentang waktu membaca 50 ayat.”

Hadis ini keshahihannya disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga oleh para ulama disebut sebagai Muttafaq 'alaih. Dalam 'ulumul hadits, Muttafaq 'alaih adalah kategori hadits shahih yang paling tinggi.

Berdasarkan hadits ini, jelas ada jeda antara  berhentinya sahur Nabi SAW dengan adzan shubuh, dengan jarak waktu sekitar cukup untuk membaca 50 ayat Al-Qur'an. 

Dalam menjealsakan hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, menjelaskan;

قوله : ( قال : قدر خمسين آية ) أي : متوسطة لا طويلة ولا قصيرة لا سريعة ولا بطيئة ، وقدر بالرفع على أنه خبر المبتدأ ، ويجوز النصب على أنه خبر كان المقدرة في جواب زيد لا في سؤال أنس لئلا تصير كان واسمها من قائل والخبر من آخر . قال المهلب وغيره : فيه تقدير الأوقات بأعمال البدن ، وكانت العرب تقدر الأوقات بالأعمال كقوله : قدر حلب شاة ، وقدر نحر جزور ، فعدل زيد بن ثابت عن ذلك إلى التقدير بالقراءة ؛ إشارة إلى أن ذلك الوقت كان وقت العبادة بالتلاوة ،

perkataan [Zaid berkata; kira-kira bacaan 50 ayat], yakni ayat yang sedang, bukan yang panjang atau yg pendek, bukan pembacaan yang cepat, juga bukan yang lambat.  

(Lafaz "qadr dibaca rafa', karena ia berkedudukan sebagai khabar mubtada. Tapi bisa juga dibaca nashab, karena ia juga bisa berposisi sebagai khabar kana yang diqadrkan sebagai jawaban zaid, bukan atas pertanyaan anas...dst)

"Almihlab dan ulama lain berkata: dalam hadis ini terdapat perkiraan interval waktu dengan aktifitas fisik; dan biasanya orang arab memang suka membuat perkiraan waktu dengan aktifitas fisik ini, seperti dengan ukuran waktu sepemerasan susu kambing... maka, dalam hadis ini zaid makai perkiraan waktu itu dengan pembacaan al-Qur'an. Ini merupakan sebuah isyarat, bahwa waktu sahur adalah waktu ibadah, seperti halnya membaca al-Qur'an."

Bila dikonversi ke era sekarang, waktu untuk membaca 50 ayat Al-Quran yang sedang itu adalah sekitar 10-15 menit tadi. Inilah jeda waktu dari sahur nabi ke adzan Shubuh sebagaimana disebutkan dalam hadits Muttafaq 'alaih di atas. 

Dulu orang menentukan waktu shalat Shubuh dengan langsung melihat langit. Sekarang zaman sudah berkembang. Waktu shalat Shubuh sudah bisa dihitung dengan ilmu Falak. Karena itulah para ahli Falak kemudian menentukan waktu imsak sekitar 10 menit sebelum adzan Shubuh.

Jadi jelas tradisi imsak ini ada dasar dalilnya, yakni hadits di atas tadi. Jadi bukan bid'ah.

Ada pula sebagian pihak yang berusaha membenturkan hadits ini dengan hadits lain yang menyatakan bahwa sahur terbaik adalah yang paling akhir. Bahwa masyarakat tidak perlu diberi tanda isyarat imsak, karena ia akan menghentikan aktifitas santap sahurnya. Padahal sunnahnya justru mengakhirkan sahur hingga terdengar adzan.  Ini jelas kurang tepat.

Adalah benar bahwa sahur itu sunnahnya memang diakhirkan. Tetapi bukankah dengan adanya tanda siaran "imsaak.... imsak..." itu justru akan membantu orang yang ingin makan sahur pada 10 menit waktu terakhir? 

Jika memang kecepatan makan Anda oke, sehingga sepiring nasi dan segelas air bisa habis dalam tempo 10 menit itu, maka "imsak... imsaak" justru akan membantu Anda mengakhirkan makan sahur.

Namun bila makan Anda lambat, apalagi diselingi dengan buka-buka HP dan update status, sebaiknya mulai makan sahur sebelum 10 menit terakhir ini.

Ali Imron 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA - SYARAH SAFINATUN NAJA

TERJEMAHAN KITAB KASYIFATUS SAJA  - SYARAH SAFINATUN NAJA | Pustaka Mampir Karya Syekh Muhammad Nawawi b...