MENGENANG MASA KECIL:NGAJI "TURUTAN"
Mengenang waktu kecil, ada satu kitab yang pasti dipunyai anak-anak. Kitab itu adalah kitab “Turutan” sebagai buku panduan cara mengeja huruf Hijaiyah.
Orang Jawa lebih mengenal “Turutan” daripada kitab “Baghdadiyah”, nama asli buku eja huruf Arab itu. Sebutan ngaji Turutan sudah dikenal dalam Serat Centhini dalam salah satu fragmen bercerita tentang kebiasaan orang Jawa sesudah matahari terbenam.
Dijelaskan dalam Centhini, bahwa anak-anak sehabis shalat Maghrib tidak langsung pulang ke rumah, tapi tetap di langgar (mushalla).
Mereka ada yang langsung membaca “Qul ya ayyuhal Kafirun” dan ada pula yang mengeja: “Alif fathah a,alif kasroh i,alif dhommah u... ”
Dengan kata lain, dari pertama Islam masuk Nusantara sudah dikenalkan metode Turutan atau Baghdadiyah.
Secara bahasa, Turutan berakar kata dari tutur-urutan yang dilafalkan menjadi Turutan. Pertama, disebut tutur karena titik tekan belajar aksara Arab dengan metode Baghdadiyah ialah benar membunyikan dan melafalkan huruf: bukan sekedar tahu bacaan huruf.
Di samping itu disebut tutur sebab “bacaan murid” harus sama dengan contoh “bacaan guru”, sebab metode ini menjadi inti talaqqi (ketemunya murid dengan guru). Bisa saja murid tahu bacaan huruf, tapi jika belum sama dengan cara baca gurunya, sang murid belum dianggap lulus.
Kedua, disebut urutan karena materinya tersistematisasi dari mulai huruf per huruf, vokal per vokal, dan seterusnya. Murid dituntut benar melalui tahapan-tahapan belajar dan tidak boleh loncat sekalipun sudah kenal bacaan huruf.
Bisa juga urutan dipahami dengan membaca berurutan: Diawali guru kemudian ditirukan murid. Guru tidak hanya menyimak tetapi memberi contoh bacaan yang pas. Cara ini bukan mengurangi aspek keaktifan murid. Justru dengan membaca berurutan dari guru dilanjutkan murid ada hubungan aktif antar keduanya. Bahkan seorang guru ngaji dituntut hadir secara fisik dan spiritnya.
Beda dengan metode ngaji yang diterapkan sekarang: Seolah-olah guru hadir tapi karena spiritnya sedang “terganggu”, dia membiarkan muridnya mengaji sesuka-sukanya. Hasilnya kualitas bacaan murid yang disimak bervariasi sesuai mud gurunya.
Secara prinsip, cara ngaji Turutan ini memiliki pengaruh besar bagi masyarakat non Arab seperti orang Jawa sehingga mereka dapat mengeja Al-Qur’an seperti cara eja bangsa Arab yang pertama kali diturunkan Al-Qur’an.
Bagi orang Jawa tidak mudah untuk dapat melafalkan huruf-huruf seperti: dza, dha, ‘ain, ghain, fa’, dll. Mereka tidak mudah memainkan dan menggetarkan lidah di rongga mulut. Karena ibarat senjata lidah itu harus lurus dan dirahasiakan dalam wadahnya. Makanya dza dibaca Lo (dzuhur jadi luhur); ‘ain dibaca nga (alam jadi ngalam), fa’ jadi pa’ (Fatihah jadi patikah), dll.
Berkat belajar Turutan mereka dapat mengeja huruf-huruf Al-Qur’an sesuai kaidah yang ditentukan. Sekalipun dalam percakapan keseharian mereka tetap konsisten dengan cara dan gaya aslinya. Alasan mereka, “turutan itu bisa juga berarti mengikuti alur/jalan (nutur-ratan).
Dengan kata lain, harus pandai menyesuaikan situasi dan kondisi. Makanya wajar seorang santri Jawa yang hafizd Qur’an pun dalam komunikasi sehari-hari dengan seorang haji, dia tetap memanggil Pak Kaji bukan Pak Haji.
Muhammad Ishom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar